Selasa, 01 Juni 2010

Relasi Segitiga Antara Amerika Serikat, Cina, dan Taiwan di Bawah Doktrin One China Policy

Oleh: Yenni Triani

209000069

Bab I

Pendahuluan

1. Latar Belakang Masalah

One China Policy atau “Kebijakan Satu Cina” mengacu pada sebuah formulasi kebijakan yang dipegang teguh oleh Republik Rakyat Cina dengan sentrum pemerintahan di Beijing – yang menetapkan bahwa hanya ada satu Cina yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara, yaitu Republik Rakyat Cina. Sedangkan eksistensi Republik Cina (Taiwan) dengan sentrum pemerintahan di Taipe diklaim sebagai bagian dari Republik Rakyat Cina. Pihak Beijing mendeklarasikan kepada forum internasional bahwa pihak Taiwan sudah selayaknya tunduk pada kebijakan satu Cina ini, karena Taiwan telah terikat pada konsensus yang telah disepakati oleh perwakilan kedua belah pihak pada tahun 1992 di Hongkong.[i] Oleh karena itu, pihak Beijing menganggap bahwa eksistensi kebijakan yang hanya mengakui adanya satu Cina ini merupakan status quo yang tidak dapat diganggu gugat. Namun mantan presiden Taiwan, Chen Shui-bian, menolak untuk mengakui doktrin kebijakan satu Cina ini. Bahkan, esensialnya sejak 1949, sinergi antara Cina and Taiwan tidak pernah terwujud. Taiwan terus mengupayakan negosiasi demi meraih kedaulatan penuh sebagai satu negara yang tidak identik dengan Republik Rakyat Cina.

Dalam praktiknya, Republik Rakyat Cina menetapkan satu regulasi mutlak dalam berinteraksi dengan dunia internasional, yaitu dengan menerapkan satu mekanisme absolut bahwa setiap negara yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan RRC wajib menghindari hubungan diplomatik dengan Taiwan – dengan alasan bahwa Taiwan telah terdaftar dalam zona yang berada dalam teritori kedaulatan Cina. Maka, ketika Amerika Serikat memutuskan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan RRC, Amerika Serikat pun mendeklarasikan kesepakatannya terhadap kebijakan “Hanya ada satu Cina, dan Taiwan merupakan bagian dari Cina” melalui penandatanganan Joint Communiqué pada 1979. Bahkan menurut catatan historis, pasca penandatangan kesepakatan tersebut, Amerika yang ketika itu di bawah rezim Presiden Jimmy Carter bersungguh-sungguh menunjukkan komitmennya untuk mengimplementasikan klausul yang tercantum dalam kesepakatan dengan pihak RRC tersebut, sehingga akhirnya Amerika Serikat mengambil kebijakan untuk mengakhiri hubungan diplomatik dengan Taiwan. Namun ternyata kebijakan ini merupakan taktik sementara belaka untuk membangun kredibilitas di mata RRC, karena terbukti dalam kurun waktu satu bulan kemudian, formulasi Taiwan Relations Act yang dirilis oleh Taiwan pada 1979 juga – ternyata meraih dukungan dari Amerika Serikat. Aksi Amerika Serikat ini mengindikasikasikan sikap ambigu terhadap hubungannya dengan RRC. Apalagi ternyata posisi double standard Amerika tersebut tidak hanya berhenti dalam kasus ratifikasi Taiwan Relations Act, namun terus berlanjut hingga aksi penjualan persenjataan kepada Taiwan yang berlangsung selama bertahun-tahun.[ii] Kebijakan ini merupakan wujud kongkrit dari komitmen Amerika Serikat untuk menjamin sekuritas di teritori Taiwan, walaupun aksi ini melanggar perjanjian antara Amerika dengan Cina. Jaminan ini pun semakin terlihat jelas selama rezim George W. Bush. Sebagai bukti otentiknya, pada tahun 2002, Bush pernah mengeluarkan statement yang sangat kontroversial yang menekankan bahwa Amerika Serikat akan melakukan apapun demi membantu Taiwan melindungi teritorinya.[iii] Bahkan setelah memasuki rezim Obama pun, Amerika Serikat masih terus konsisten menjadi provider persenjataan bagi Taiwan.

2. Rumusan Masalah

Dari deskripsi di atas ada dua poin yang penting untuk dikritisi yaitu:

1. Apakah posisi double standard Amerika Serikat – yang dimanifestasikan dalam sikap ambigu dalam relasi segitiganya dengan Cina dan Taiwan – yang tentunya bertentangan dengan doktrin One China Policy tersebut – akan membawa implikasi negatif terhadap hubungan diplomatik Cina-Amerika Serikat.

2. Serta bagaimana pula perkembangan relasi antara Cina dan Taiwan di bawah pengaruh kebijakan yang diwarnai sikap ambigu Amerika Serikat tersebut.

Pertanyaan tersebut akan terjawab di lembar selanjutnya.

3. Kerangka Dasar

3.1 Konsep National Interest[iv]

Dalam menganalisa motif politis di balik Kebijakan One China Policy maupun Kebijkan Double Standard Amerika Serikat dalam interaksinya dengan Cina maupun Taiwan ini, teori yang paling relevan untuk menjelaskan kasus ini adalah teori yang diciptakan oleh Hans J. Morgenthau yang diabadikan dalam bukunya yang berjudul Politics Among Nations (1948) yang bernuansa realisme. Teori ini meng-highlight bahwa dalam interaksi di level internasional, setiap negara bertendensi untuk berjuang memperoleh dan memperluas kekuasaan (struggle for power) demi meraih national interest-nya masing-masing, tanpa mempertimbangkan kriteria moralistik maupun legalistik.

Korelasi teori ini dengan relasi segitiga antara Amerika, Cina, dan Taiwan – terlihat pada komitmen masing-masing negara tersebut untuk meraih national interest masing-masing tanpa terhambat oleh klausul dalam kesepakatan yang telah mereka ratifikasi. Sebagai data otentiknya: jika mengacu pada konsensus tahun 1992, Taiwan seharusnya mengakui eksistensinya sebagai bagian dari teritori RRC, namun Taiwan bersikeras untuk meraih independensi penuh untuk menjadi negara yang berdaulat. Demikian juga halnya posisi Amerika Serikat, seharusnya setelah meratifikasi Joint Communiqué pada 1 Januari 1979-yang mengindikasikan kesediaan Amerika untuk mengakui hanya ada satu Cina sebagai negara yang berdaulat, dan Taiwan merupakan bagian yang tidak teralienasi dari teritori Cina – maka seharusnya Amerika mematuhi klausul itu. Namun faktanya malah karena terbentur dengan kepentingan nasionalnya sendiri, Amerika memutuskan untuk mengenyampingkan kesepakatannya dengan Cina melalui aksi meratifikasi Taiwan Relations Act pada tahun yang sama. Taiwan Relation Act inilah yang akhirnya memungkinkan Amerika Serikat untuk meraih profit dengan menjadi pasar utama yang menjamin suplai persenjataan bagi Taiwan.

Hal ini menunjukkan bahwa dalam berinteraksi di percaturan internasional, setiap negara cenderung melakukan apapun demi meraih kepentingan nasionalnya, apapun bentuk strategi dan taktik dilegitimasi – demi meraih kepentingan masing-masing tanpa menghiraukan poin-poin normatif ataupun aspek legalitas.

3.2 Konsep Strategic Triangle

Relasi antara AS-Cina-Taiwan ini dapat disebut sebagai Segitiga Strategis, yaitu:

1. AS X Cina

2. AS X Taiwan

3. Cina X Taiwan

Relasi ini tidaklah dibangun karena adanya kedekatan psikologis ataupun emosional antar aktor, melainkan karena adanya kepentingan yang terkait di antara para aktor, bahkan juga rivalitas.

3.3 Konsep Security Dillema

Security dilemma atau Spiral model adalah terminologi dalam ilmu Hubungan Internasional yang diperkenalkan oleh John H. Herz melalui bukunya Political Realism and Political Idealism tahun 1951. Terminologi ini mengacu pada situasi di mana ketika suatu negara melakukan upaya untuk memperkuat pertahanan dan keamanan-nya – dengan cara mempercangggih kapabilitas militeristik atau bahkan membangun aliansi, maka akan menstimulasi negara lain untuk melakukan hal yang sama, karena merasa terancam.[v] Krisis Cina-Taiwan ini juga melibatkan konsep ini. Hal ini terbukti dalam kasus kebijakan Taiwan untuk membeli persenjataan dari AS, bahkan hingga mengalokasikan anggaran tahunan besar untuk memperkuat militer-nya. Sebenarnya hal ini bukanlah disebabkan oleh keinginan Taiwan untuk mempersiapkan aksi separatisme semata. Melainkan juga karena didororong oleh kekhawatiran terhadap Cina. Cina kini semakin mempercanggih kapabilitas militeristiknya, bahkan beberapa senjata nuklir, seperti ballistic missiles sudah diarahkan ke teritori Taiwan. Sehingga hal ini memaksa Taiwan untuk selalu waspada dan mempersiapkan kekuatan militer-nya – sebagai upaya preventif apabila Cina menyerangnya.

3.4 Konsep Variabel Sistemile dalam Perumusan Kebijakan

Untuk menganalisis variabel yang mempengaruhi sikap ambigu Amerika dalam relasi segitiganya dengan Cina dan Taiwan ini, maka variabel yang paling relevan adalah Variabel Sistemile – yang diadopsi dari pemikiran James N. Rosenau dan disempurnakan oleh Holsti – yang menyebutkan bahwa kebijakan suatu negara juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yang merujuk pada situasi politik internasional. Korelasi teori ini dengan sikap Amerika adalah bahwa sikap ambigu Amerika Serikat ini juga mutlak dipengaruhi oleh faktor eksternal, yaitu konstelasi politik multipolar saat ini – yang diwarnai dengan klasterisasi kekuatan akibat regionalisme, serta rivalitas antar negara-negara sejagad raya – khususnya antara negara-negara besar yang memliki kapabilitas dan potensi yang kompetitif.

Sehingga semasa rezim Jimmy Carter, hingga Obama – sikap ambigu Amerika Serikat ini tetap dilestarikan, bahkan pada rezim George W. Bush, Amerika menunjukkan komitmennya untuk melindungi Taiwan. Hal ini terjadi bukan hanya karena Amerika memiliki komitmen untuk meraih keuntungan ekonomis lewat perdagangan senjata dengan Taiwan, namun juga karena dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu ancaman kebangkitan kekuatan Cina. Cina kini dikenal sebagai pusat gravitasi ekonomi di Asia, apalagi kini Cina sangat berambisi untuk memperkuat posisinya di peta Asia dengan membangun koalisi regional yang semakin massif dan ekspansif. Otomatis apabila hal ini terus dibiarkan, maka hegemoni Amerika di Asia akan dirampas oleh Cina. Sehingga Amerika sengaja memanfaatkan konflik Cina dengan Taiwan ini sebagai senjata strategis untuk melawan Cina

Bab II

Pembahasan

1. Rekam Historis Konflik RRC-Taiwan

Ketegangan yang terjadi akibat perdebatan antara unifikasi Cina-Taiwan versus independensi Taiwan ini sudah berlangsung selama bertahun-tahun. Doktrin konsensus tahun 1992 tentang One China Policy terbukti tidak memiliki signifikansi untuk menundukkan Taiwan di bawah bendera Cina. Apalagi seiring berkembangnya waktu, populasi di Taiwan cenderung telah mengidentifikasi diri mereka sebagai Taiwanese, bukan Chinese.[vi] Hal ini mengindikasikan konflik Cina-Taiwan merupakan rivalitas nasionalisme, bukan lagi perkara kontadiksi ideologis.

Bahkan pada awal Mei 2005, terjadilah sebuah kasus monumental yang populer sebagai “The Taiwan Problem” di Beijing, hal ini dipicu karena adanya kunjungan ketua partai “Kuomintang” (KMT) yaitu Lien Chan ke Beijing dan disambut oleh Presiden Hu Jintao. Kunjungan satu minggu Lien Chan dalam rangka Journey of Peace ini merupakan sebuah silahturrahmi premier-nya ke Cina sejak dia meninggalkan daratan itu selama sekitar 56 tahun silam, tepatnya ketika dia masih berusia 10 tahun. Kunjungan Lien ini tentunya segera menstimulasi reaksi pro dan kontra rakyat Taiwan, terlebih karena momentum kunjungan ini terjadi enam minggu pasca RRC mengumumkan Undang-Undang Anti Pemisahan, yang menjustifikasi Cina untuk menggunakan kekuatan militeristik (Force) sekiranya Taiwan tetap menuntut independensi.

Sebagai responnya, mantan Wakil Presiden Taiwan, Annette Lu mengutuk tindakan Lien ini, Lu bahkan mengatakan bahwa Lien Chan is cooperating with the communist to downgrade the president’s legitimacy and power.[vii]

Lu menganggap kunjungan Lien itu merupakan upaya konspiratif Lien dengan pemerintah komunis Cina dalam rangka menjatuhkan wibawa presiden.

Kemudian kunjungan Lien ini juga disusul oleh mantan rival politiknya ketika mencalonkan diri sebagai presiden Taiwan pada 2004 lalu, yaitu James Soong dari partai People First Party (PFP). Kunjungan kedua figur politik Taiwan ini ke Beijing sebenarnya bukanlah sebuah fakta yang mengejutkan, karena keduanya memang dikenal sebagai tokoh yang moderat dalam menanggapi konflik Cina-Taiwan. Lain halnya dengan sosok Chen Shui-Bian, sang presiden terpilih dari partai Democratic Progressive Party (DPP) pada pemilihan 2004 itu – yang terkenal sangat keras menentang upaya unifikasi Cina-Taiwan, bahkan dia bertendensi untuk mengupayakan strategi apapun untuk mewujudkan independensi Taiwan. Chen mengintepretasikan Kebijakan Satu Cina sebagai: Satu Taiwan dan Satu Cina, serta kedaulatan Taiwan bukan hanya De Facto tetapi juga De Jure. Esensialnya DPP telah memposisikan Taiwan sebagai satu negara yang berdaulat, sehingga DPP selalu berupaya untuk melepaskan Taiwan dari jeratan tentakel Cina dengan melakukan upaya abrogasi terhadap Konsensus 1992. Di lain pihak, KMT dan PFP yang dikenal sebagai 2 kekuatan utama Pan Blue Camp cenderung mengupayakan penyelesaian konflik Cina-Taiwan ini melalui pendekatan diplomatis dengan Cina. Perseteruan internal Chen versus Lien-James ini semakin memperjelas perdebatan antara unifikasi versus kemerdekaan yang telah muncul sejak 1993 tepatnya sejak rezim presiden Lee Teng Hui.[viii]

Walaupun Taiwan menunjukkan konsistensinya untuk melakukan aksi separatisme, namun pihak Beijing sendiri tidak akan pernah merevisi doktrin One China Policy-nya. Bahkan mantan perdana menteri Wen Jiabao menegaskan: “We stand firmly opposed any form of separatist activities aimed at Taiwan independence and will never allow anyone to split Taiwan from China by any means.”[ix] Oleh karena itu, Cina mulai mengantisipasi adanya aksi separatisme Taiwan dengan terus memperkuat kapabilitas militeristiknya.

Bahkan Cina telah menyebarkan serangkaian ballistic missiles di sepanjang Selat Taiwan, dan mempercanggih armada amfibinya.

Tak hanya itu, kini Cina pun mulai memodernisasi proyek senjata nuklir-nya, namun Cina berargumen bahwa penggunaan senjata nuklir ini berdasarkan kebijakan “No First Use on Nuclear Weapons” atau Second-Strike Policy, artinya Cina hanya akan menggunakan instrumen nuklir apabila negaranya terancam atau diserang duluan.[x]

2. Sikap Ambigu Amerika Serikat dalam Mematuhi Doktrin One China Policy dan Implikasinya Terhadap Hubungan Diplomatik AS-Cina

Pada 25 April 2001, ketika George W. Bush masih berkuasa, dia mengeluarkan sebuah statement yang sangat kontroversial dalam sebuah interview yang dilakukan oleh ABC Television, saat itu Bush mendapat sebuah pertanyaan tentang langkah apa yang akan dilakukan Amerika Serikat apabila Taiwan diserang, saat itu Bush menjawab bahwa “The United States would do “Whatever it takes to help Taiwan defend herself.”[xi] Hal ini seolah mengindikasikan keberpihakan Amerika Serikat terhadap Taiwan.

Padahal sebenarnya kebijakan Amerika untuk memberi asistensi khusus kepada Taiwan ini sangat bertentangan dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh Amerika dengan Cina dalam Joint Communiqué, yang diratifikasi pada 1 Januari 1979. Esensialnya Joint Communiqué ini merupakan persetujuan Amerika untuk mengakui eksistensi satu Cina, dan Taiwan sebagai teritori yang berada di bawah bendera Cina, sehingga Amerika seharusnya menghindari niat untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Taiwan. Namun ternyata klausul tersebut dilanggar oleh Amerika, diawali dengan keputusan Amerika untuk meratifikasi Taiwan Relations Act (TRA) pada 1979, sebulan pasca penandatanganan Joint Communiqué .

Ironisnya kesepakatan dalam TRA inilah yang akhirnya meligitimasi Taiwan untuk memperoleh suplai persenjataan dari Amerika Serikat melalui transaksi perdagangan bilateral. Oleh karena itu Cina terus memprotes kebijakan Amerika ini. Namun Amerika berargumen bahwa aksi Amerika untuk menjalin hubungan dengan Taiwan ini – bukanlah hal yang melanggar kesepakatan Joint Communiqué. Berdasarkan klarifikasi dari pihak Amerika seperti yang tercantum dalam The China/Taiwan: Evolution of the "One China" Policy report of the Congressional Research Service pada 9 Juli, 2007, ada beberapa poin yang menjustifikasi hubungan AS dengan Taiwan, yaitu: Dalam 3 putaran Joint Communique yang melibatkan Cina-AS pada 1972, 1979, hingga 1982, sebenarnya intepretasi “Satu Cina” bagi Amerika adalah posisi satu Cina berada di kedua sisi Teluk Taiwan, AS tidak pernah mengakui secara eksplisit kedaulatan Cina atas Taiwan, namun AS tidak memandang Taiwan sebagai negara yang berdaulat, tetapi lebih cenderung menganggap Taiwan adalah sebuah teritori dengan status yang belum jelas.

Bahkan sebagai jawaban atas protes Cina yang mengira Amerika akan membantu separatisme Taiwan, Bush pun pernah memberi ultimatum kepada Taiwan bahwa Amerika akan menghentikan dukungannya kepada Taiwan apabila Taiwan memulai aksi separatisme terhadap Cina.[xii]

Namun di bawah rezim Obama sendiri, tidak terlihat adanya komitmen Amerika untuk memutuskan hubungan dengan Taiwan, tidak ada kecenderungan Amerika untuk merevisi klausul dalam TRA, distribusi instrumen militeristik ke Taiwan tetap dijamin oleh Amerika. Melihat kebijakan ini, Cina pun bereaksi keras dengan memformulasikan 3 bentuk sanksi untuk Amerika Serikat, yaitu:

1. Menunda military-to-military exchanges;

2. Menunda pertemuan level dewan kementerian untuk membicarakan international security, Kontrol Militer, dan weapons nonproliferation;

3. Memperkenalkan formulasi sanksi baru di kemudian hari untuk perusahaan-perusahaan pertahanan Amerika Serikat (U.S. defense firms) yang terlibat dalam transaksi jual beli persenjataan dengan Taiwan;

Namun sejauh ini sanksi yang telah diimplementasikan oleh pihak Cina adalah pembatalan pertemuan dengan James Steinberg, Deputy Secretary of State di Beijing. Sanksi yang lain sedang dipertimbangkan relevansi dan efeknya bagi kelangsungan hubungan bilateral Cina dan Amerika, karena hal ini menyangkut kepentingan kedua negara yang saling terkait.

3. Dinamika Relasi Taiwan-Cina

3.1 Rivalitas Militeristik Versus Harmonisasi dalam Transaksi Ekonomi

Dengan adanya konsistensi Cina untuk memperkuat militernya demi mengantisipasi aksi separatisme Taiwan, maka Taiwan pun mengintensifkan upayanya untuk menambah kuota persenjataan, oleh karena itu Taiwan berkomitmen untuk mengalokasikan dana yang siginfikan untuk budget militer. Tahun 2010 ini Taiwan mengalokasikan dana militer sebesar 9.3 milyar US dollar.[xiii] Bahkan tahun 2010 ini Taiwan telah membeli 114 PAC-3 defense missiles, 60 UH-60M Black Hawk utility helicopters, dan instrumen militer lainnya senilai 6,4 milyar US Dollar dari pasar Amerika, tentunya kelengkapan militeristik baru tersebut telah menambah stok militeristik yang sudah dikoleksi Taiwan sejak 1990 dari pasar Amerika.[xiv]

Namun, meskipun hubungan Cina-Taiwan diwarnai oleh friksi diplomatik, hubungan ekonomi lintas selat telah terjalin dengan baik. Cina telah bergabung dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001, yang kemudian pada 1 Januari 2002 disusul oleh Taiwan. Masuknya Taiwan ke WTO ini tentunya setelah mengalami proses yang panjang, yaitu setelah melalui proses pengajuan aplikasi pendaftaran selama 12 tahun. Di WTO Taiwan sendiri dikenal sebagai “Chinese Taipe”. Dengan status sebagai sesama anggota WTO, maka hubungan perdagangan Cina-Taiwan semakin erat. Bahkan, pada 2007 lalu, perdagangan bilateral antara Cina-Taiwan mencapai omzet 102 milyar US Dollar, padahal pada tahun 1991 hanya mencapai angka 8 milyar US Dollar. Data ini mengindikasikan adanya peningkatan yang signifikan dari transaksi ekonomi bilateral antara Cina-Taiwan.

Dalam perkembangan selanjutnya, Taiwan mulai mengakui Cina sebagai patner bisnisnya yang paling prospektif, buktinya pada tahun 2007 saja, 30% kuota ekspor Taiwan disirkulasikan ke pasar Cina. Sebaliknya bagi Cina, Taiwan pun masuk ke dalam daftar Top Ten China’s Trading Partners. Setidaknya sejak tahun 1998, pelaku bisnis dari Taiwan telah berinvestasi di pasar Cina senilai 150 milyar US Dollar. Bahkan tahun 2009 telah menandai peningkatan penerbangan langsung antara Cina dan Taiwan dari 108 kali per minggu menjadi 270 kali., artinya mobilisasi masyarakat dari Cina ke Taiwan dan sebaliknya semakin meningkat.[xv]

3.2 Meredupnya Rivalitas Cina Versus Taiwan dalam Memperebutkan Pengakuan Diplomatik

Dalam perkembangan sekarang, terlihat adanya kecenderungan sikap Cina yang lebih melunak dalam berinteraksi dengan Taiwan, buktinya pada bulan Mei 2009, pemerintah Cina tidak menggunakan hak vetonya untuk menghalangi partisipasi Taiwan sebagai observer di World Health Assembly – yang merupakan badan eksekutif World Health Organization. Eksistensi Taiwan di organisasi ini juga di bawah nama “Chinese Taipe”. Momentum ini adalah kali pertama Taiwan dianugerahi status sebagai observer dalam Badan PBB sejak Taiwan kehilangan kursinya pada 1971 di PBB.

3.2.1 Fenomena Diplomatic Truce dalam Relasi Cina-Taiwan

Sebenarnya prestasi Taiwan mendapatkan jabatan di forum internasional ini juga dibarengi dengan fenomena diplomatic truce yang terjadi di antara Cina dan Taiwan. Diplomatic Truce ini ditandai dengan kesepakatan di antara Cina-Taiwan untuk menghentikan rivalitas konfliktis sementara waktu di antara mereka. Kini Cina cenderung menghentikan agresivitasnya untuk merampas pengakuan diplomatik dari 23 negara yang telah mengakui kedaulatan Taiwan sebagai negara.[xvi] Selain itu, berkenaan dengan statusnya di dunia internasional, selama rezim presiden Ma Ying-jeou terlihat bahwa Taiwan tidak terlalu berambisi untuk meraih kursi di PBB demi meraih pengakuan internasional. Kebijakan Presiden Ma ini sungguh sangat kontradiktif dengan langkah yang pernah diambil mantan Presiden Chen. Di bawah rezim Presiden Chen, pemerintah Taiwan bersikeras untuk mendapatkan kembali kursi di PBB yang telah dirampas oleh China pada 1971. Karena saat itu Cina berhasil meyakinkan PBB bahwa representasi Cina di PBB juga berarti mewakili Taiwan. Namun kini internasional space yang diraih oleh Taiwan lewat posisi sebagai observer di World Health Assembly telah menjadi prestasi yang memuaskan bagi Taiwan.

3.2 Diplomasi Budaya sebagai Instrumen Normalisasi Hubungan Cina-Taiwan

Soft power dalam bentuk diplomasi budaya merupakan salah satu instrumen yang sangat efektif dalam rangka meredam friksi diplomatik antar negara.[xvii] Oleh karena itu, untuk melanjutkan tren menjaga stabilitas Cina-Taiwan, Presiden Taiwan telah berinisiatif untuk meningkatkan program cultural and educational exchanges dengan Cina. Bahkan Presiden Taiwan, Ma Ying-jeou juga bersumpah bahwa walaupun Taiwan tidak akan pernah menyetujui agenda unifikasi di bawah bendera Cina, namun Taiwan tidak akan mendeklarasikan independensi-nya. Hal ini berarti Taiwan telah berkomitmen untuk melestarikan status quo dengan menghindari separatisme terhadap Cina untuk saat ini. Di lain pihak, Presiden Cina, Hu Jintao pun telah meredam tindakan agresifnya untuk menundukkan Taiwan, walaupun unifikasi Taiwan-Cina masih menjadi tujuan utama Cina, namun untuk saat ini Presiden Hu terlihat cukup puas dengan stabilitas ekonomi dan integrasi budaya Cina-Taiwan.

Bab III

Kesimpulan

One China Policy atau Kebijakan satu Cina mengacu pada sebuah formulasi politik yang dipegang teguh oleh Republik Rakyat Cina dengan sentrum pemerintahan di Beijing – yang menetapkan bahwa hanya ada satu Cina yang berdaulat dan memiliki aspek legalitas sebagai negara, yaitu Republik Rakyat Cina. Sedangkan eksistensi Republik Cina (Taiwan) dengan sentrum pemerintahan di Taipe diklaim sebagai bagian dari Republik Rakyat Cina. Pihak Beijing mendeklarasikan kepada forum internasional bahwa pihak Taiwan sudah selayaknya tunduk pada kebijakan satu Cina ini, karena Taiwan telah terikat pada konsensus yang telah disepakati oleh perwakilan kedua belah pihak pada tahun 1992 di Hongkong. Oleh karena itu, pihak Beijing menganggap bahwa eksistensi kebijakan yang hanya mengakui adanya satu Cina ini merupakan status quo yang tidak dapat diganggu gugat. Namun mantan presiden Taiwan, Chen Shui-bian, menolak untuk mengakui doktrin kebijakan satu Cina ini. Bahkan, esensialnya sejak 1949 sinergi antara China and Taiwan tidak pernah terwujud. Taiwan terus mengupayakan negosiasi demi meraih kedaulatan penuh sebagai satu negara yang tidak identik dengan Republik Rakyat Cina.

Dalam praktiknya, Republik Rakyat Cina menetapkan satu regulasi mutlak dalam berinteraksi dengan dunia internasional, yaitu dengan menerapkan satu mekanisme absolut bahwa setiap negara yang ingin menjalin hubungan diplomatik dengan RRC harus menghindari hubungan diplomatik dengan Taiwan – dengan alasan bahwa Taiwan telah terdaftar dalam zona yang berada dalam teritori kedaulatan Cina.

Maka, ketika Amerika Serikat memutuskan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan RRC, Amerika Serikat pun mendeklarasikan kesepakatannya terhadap kebijakan “Hanya ada satu Cina, dan Taiwan merupakan bagian dari Cina” melalui penandatanganan Joint Communiqué pada 1979. Bahkan menurut catatan historis, pasca penandatangan kesepakatan tersebut, Amerika yang ketika itu di bawah rezim Presiden Jimmy Carter bersungguh-sungguh menunjukkan komitmennya untuk mengimplementasikan klausul yang tercantum dalam kesepakatan dengan pihak RRC tersebut, sehingga akhirnya Amerika Serikat mengambil kebijakan untuk mengakhiri hubungan diplomatik dengan Taiwan. Namun ternyata kebijakan ini merupakan taktik sementara belaka untuk membangun kredibilitas di mata RRC, karena terbukti dalam kurun waktu satu bulan kemudian, formulasi Taiwan Relations Act yang dirilis oleh Taiwan pada tahun 1979 juga – ternyata meraih dukungan dari Amerika Serikat. Aksi Amerika Serikat ini mengindikasikasikan sikap ambigu terhadap hubungannya dengan RRC. Apalagi ternyata posisi double standard Amerika tersebut tidak hanya berhenti dalam kasus ratifikasi Taiwan Relations Act, namun terus berlanjut hingga aksi penjualan persenjataan kepada Taiwan yang berlangsung hingga kini. Hal ini seolah mengindikasikan keberpihakan Amerika Serikat terhadap Taiwan. Otomatis sikap ambigu Amerika ini memancing emosi Cina. Sehingga Cina memformulasikan rangkaian sanksi untuk Amerika, yang dimanifestasikan dalam 3 poin, yaitu:

1. Menunda military-to-military exchanges;

2. Menunda pertemuan level dewan kementerian untuk membicarakan international security, Kontrol Militer, dan weapons nonproliferation;

3. Memperkenalkan formulasi sanksi baru di kemudian hari untuk perusahaan-perusahaan pertahanan Amerika Serikat (U.S. defense firms) yang terlibat dalam transaksi persenjataan dengan Taiwan;

Namun sejauh ini sanksi yang telah diimplementasikan oleh pihak Cina terhadap Amerika adalah pembatalan pertemuan dengan James Steinberg, Deputy Secretary of States di Beijing. Sanksi yang lain sedang dipertimbangkan relevansi dan efeknya bagi kelangsungan hubungan bilateral Cina dan Amerika, karena hal ini menyangkut kepentingan kedua negara yang saling terkait.

Sementara itu, dalam perkembangan dinamika relasi Cina-Taiwan kini, terlihat fakta bahwa hubungan keduanya diwarnai dengan tren menjaga stabilitas perdamaian. Walaupun agenda unifikasi Cina-Taiwan tetap tidak mungkin terjadi, namun Taiwan tetap berkomitmen untuk tidak melakukan aksi separatisme dengan Cina, Taiwan ingin melestarikan status quo. Di lain pihak, Cina pun kini mulai meredam tindakan agresifnya untuk menundukkan Taiwan. Walaupun agenda unifikasi Taiwan-Cina masih menjadi tujuan utama Cina, namun untuk sementara ini, pemerintah Cina cukup merasa puas dengan prestasi di bidang integrasi budaya dan ekonominya dengan Taiwan.



End Notes

[i] [i] Michal Roberge dan Youkyung Lee, China-Taiwan Relations, Council on Foreign Relations http://www.cfr.org/publication.html?id=9223#2, diakses tanggal 1 Mei 2010 pukul 09.00 WIB

[ii] Ibid

[iii] Shirley A. Kan. 17 Agustus 2009. China/Taiwan: Evolution of the “One China” Policy—Key Statements from Washington, Beijing, and Taipei: Congressional Research Service: www.crs.gov diakses 1 Mei 2010, pkl 10.00 WIB

[iv] A, Vandana.1996.Theory of International Politics.New Delhi: Vicas Publishing House PVT LTD, page: 131

[v] Robert Jervis, “Cooperation under the Security Dilemma,” World Politics, Vol. 30, No. 2 (January 1978), pp. 167–174; and Robert Jervis, Perception and Misperception in International Politics (Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1978), pp. 58–113

[vi] Sebuah survey yang dilakukan oleh Mainland Affairs Council pada November 2003, menunjukkan bahwa hanya 7,4% responden yang menyetujui konsepsi “one country, two systems” Cina, sementara yang lain menolaknya. Sementara mengenai identitas warga Taiwan, Survey The Election Study Center di Chengchi University, menunjukkan hasil sebagai berikut: pada tahun 1993 populasi di Taiwan yang mengidentikkan diri sebagai “Taiwanese” hanya 17,3%, namun pada tahun 2003, angka tersebut meningkat menjadi 41,5% . Sedangkan grafik populasi yang mengidentikkan dirinya sebagai “Chinese” kian menurun, pada tahun 1992, komunitas “Chinese” mencapai angka 26,2%, namun pada 2003, kuota “Chinese” hanya mencapai angak 9,9%.

Lihat: The Straits Go Wider: Far Eastern Economic Review, March 4, 2004.

[vii] “Guest of Honour”, Time Asia, May 9 2005, page 24-5

[viii] Yu Shuan Wu, Taiwanese Nationalism and Its Implication: Testing The Worst Case Scenario, Asian Survey, Vol.44, no.4, July/August 2004, page 614-6

[ix] What Taiwan Wants, TIME archive, March 08 2004.

[x] Jayshree Bajoria, China's Military Power, http://www.cfr.org/publication/18459/chinas_military_power.html diakses pada 3 Mei 2010, pukul 15.00

[xi] Shirley A. Kan, China/Taiwan: Evolution of the “One China” Policy—Key Statements from Washington, Beijing, and Taipei, Congressional Research Service, www.crs.gov

[xii] Ibid

[xiii] Shirley A. Kan, Taiwan: Major U.S. Arms Sales Since 1990, Congressional Research Service, www.crs.gov

[xiv] Ibid

[xv] Michal Roberge dan Youkyung Lee, China-Taiwan Relations, http://www.cfr.org/publication.html?id=9223#2 diakses tanggal 1 Mei 2010 pukul 09.00 WIB

[xvi] David B. Shear: Deputy Assistant Secretary, Bureau of East Asian and Pacific Affairs, Testimony Before the U.S.-China Economic and Security Review Commission on March 10 2010, China-Taiwan: Recent Economic, Political and Military Developments Across the Strait and Implications for the United States, http://www.state.gov/p/eap/rls/rm/2010/03/138547.htm, diakses 15 Mei 2010, pukul 13.00

[xvii] Vandana, A.1996.Theory of Internasional Politics: Cultural Diplomacy.New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, page: 146

1 komentar:

  1. Interesting article. Tapi fokus pembahasan Anda menjadi kabur antara orientasi politik luar negeri Amerika Serikat dalam memaknai, one china policy. Diskusi tentang bentuk dan proses diplomasi hanya muncul pada poit terakhir tentang diplomasi budaya yang seharusnya menjadi fokus pembahasan Anda. Pilihan bentuk dan proses diplomasi yang dilakukan.

    BalasHapus