Rabu, 02 Juni 2010

Diplomasi Setengah Hati

Oleh : Wahyu Mulyana Putra
209000216
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG PERJUANGAN MEREBUT KEMBALI IRIAN BARAT

Irian Barat, bagian dari pulau Irian namun kini lebih kita kenal dengan Papua, merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Terletak di paling timur Indonesia dan merupakan bagian dari nusantara. Pulau yang memiliki kekayaan alam yang amat melimpah itu di era 1949-1950 menjadi sengketa antara dua negara, yaitu Indonesia dan Belanda. Kekayaan sumber daya alam Irian Barat yang melimpah membuat Belanda tidak begitu saja ingin melepaskannya, karena dengan dilepaskannya Irian Barat, maka kepentingan perekonomian Belanda di Indonesia akan terganggu, dan secara otomatis pemasukan-pemasukan yang didapat Belanda dari Irian Barat pun akan berhenti seketika, dan tentu suatu kerugian besar bagi Belanda. Disisi lain Indonesia memandang bahwa Irian Barat sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Indonesia.
Sengketa Irian Barat tidak terlepas dari Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan pada tanggal 21 Agustus sampai 2 November 1949, nampak amat jelas bahwa Belanda ingin memisahkan Irian Barat dengan Indonesia dan tetap menjadikan Irian Barat menjadi bagian dari wilayah Belanda. Ini terbukti Belanda kurang berminat merundingkan perihal kedaulatan Irian Barat, tetapi Belanda bersedia berunding soal perburuhan dan transportasi antara Irian Barat dan Indonesia
Pendirian Belanda dalam mempertahankan Irian Barat sebagai wilayah kekuasaannya mengacu pada kesepakatan yang menyatakan bahwa status quo Karesidenan Irian Barat harus dipertahankan dan jika memang harus ada pengalihan kedaulatan kepada RIS, maka status politik Irian Barat akan diputuskan melalui negosiasi antara RIS dengan Belanda.
Bunyi kesepakatannya sebagai berikut :
“The statusquo of the residentcy of New Guinea shall be maintained with the stipulation that in the transfer of the souverignity to the UNI Republic, the question of the political status of New Guinea will be determined through negotiation betweens the UNI Republic and The Kingdom of the Netherlands.”
Keputusan penundaan ini memang nampak merupakan strategi Belanda yang mengharapkan Indonesia akan semakin kacau dan berpeluang kembali ke Indonesia melalui Irian Barat. Namun, dalam perjuangan merebut kembali Irian Barat, Indonesia pun tidak ingin menyerah begitu saja. Para pemimpin bangsa ini kala itu terus berusaha agar dapat memasukkan kembali Irian Barat kedalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Maka perjuangan merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonialisme Belanda dilanjutkan. Pada tanggal 25 Maret sampai 1 April 1950 diadakan konferensi menteri-menteri Uni Indonesia – Belanda soal Irian Barat. Namun kegagalan kembali didapati Indonesia saat itu, Perundingan hanya menghasilkan kesepakatan membentuk semacam komisi gabungan di Irian Barat. Belanda masih tetap bersikukuh dan bersikap angkuh atas pengakuannya terhadap Irian Barat.
Pada kabinet Natsir, perundingan kembali dilaksanakan. Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu Muhamad Rum berangkat ke Den Haag pada tanggal 4-23 Desember 1950, namun kembali pihak Belanda tetap mempertahankan pendiriannya sebagai penguasa Irian Barat sampai rakyat disana mampu untuk menentukan nasibnya sendiri.
Dalam kabinet Sukiman perundingan bergulir kembali, awal Tahun 1952 delegasi Indonesia dipimpin Menteri Luar Negeri Ahmad Soebardjo dengan anggotanya antara lain Soepomo dan Muhamad Yamin berjuang untuk mendapatkan kembali Irian Barat, namun pada akhir Februari 1952 delegasi kembali dengan kegagalan.
Pada masa kabinet Ali Satroamidjodjo, di bulan Juni 1954 kembali dikirim delegasi Indonesia dibawah pimpinan Menteri Luar Negeri Sunaryo ke Belanda untuk menghapus UNI Indonesia Belanda dan penyelesaian kekuasaan Belanda di Irian Barat.
Lagi-lagi masalah pengambilan kekuasaan atas Irian Barat terhadap Belanda kembali gagal. Belanda masih tetap dengan pendirian mereka bahwa hanya jika rakyat Irian Barat mampu menentukan nasib sendiri maka kekuasaan Belanda atas Irian Barat pun selesai. Perjanjian yang mencapai sebuah kesepakatan hanyalah penghapusan UNI Indonesia Belanda, karena kegagalan perundingan bilateral ini maka masalah Irian Barat diajukan ke Sidang Majelis Umum PBB yang juga ternyata gagal mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi.
Meskipun telah berulang kali perundingan antar kedua belah pihak Indonesia dan Belanda digulirkan, namun hingga pertengahan tahun 1956 kedua belah pihak belum juga mendapatkan titik temu, dan kala itu Presiden Soekarno mengatakan dalam pidatonya perlu diambil ‘langkah lain’ untuk memperoleh kembali Irian Barat.
Dalam pidatonya di hari peringatan kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-11 itu, Bung Karno secara lantang mengatakan bahwa telah terbentuk provinsi Irian Barat dan pada sekitar tahun 1956 dan 1957, Bung Karno melakukan perjalanan keliling dunia dengan misi khusus, yaitu mengkampanyekan Irian Barat kepada dunia, dan menghimpun dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat internasional demi kembalinya Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, dan perjalanan Bung Karno ini seperti menjadi babak baru perjuangan Indonesia merebut kembali Irian Barat.

I.2 RESEARCH QUESTION
- Bagaimana sikap dunia dan akhir perjuangan Indonesia dalam merebut
kembali Irian Barat ??
- Apakah setelah kembalinya Irian Barat ke dalam kekuasaan RI, pemerintah Indonesia benar-benar memperhatikan Irian Barat seperti halnya daerah Indonesia yang lain ?
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Babak Baru Perjuangan Merebut Irian Barat
Ketika memasuki masa pemerintahan Djuanda atau kita kenal sebut Kabinet Djuanda, masa ini lah yang menjadi babak baru perjuangan Indonesia dalam merebut kembali Irian Barat. Pada kebinet ini dari sisi internal, Indonesia memiliki strategi baru yang sebelumnya tidak pernah bisa di aplikasikan karena memang strategi ini adalah strategi yang amat berani mengingat negara kita baru saja terbentuk dan masih berumur remaja.
Pada masa Kabinet Djuanda (1957), penunjukkan Subandrio sebagai Menteri Luar negeri saat itu, adalah suatu keputusan yang tepat. Ketika menduduki jabatannya sebagai Menteri Luar Negeri, Subandrio langsung menyusun strategi untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Bersama Perdana Menteri Ir. Djuanda yang juga merangkap sebagai Menteri Pertahanan, Subandrio menghasilkan sebuah strategi yang selanjutnya diajukan kepada Presiden Soekarno.
Pada saat sidang PBB tahun 1957, Resolusi Indonesia kembali gagal mendapat dukungan 2/3 suara sehingga mulai saat itu, Menteri Luar Negeri Subandrio mengumumkan bahwa perihal penyelesaian masalah Irian Barat tidak akan lagi dibawa ke sidang PBB berikutnya. Indonesia akan melaksanakan konfrontasi dalam segala bidang, politik, ekonomi sambil memperkuat militer. Meskipun keputusan ini cukup berani dan riskan, seperti yang dikatakan Bung Hatta jauh-jauh hari sebelumnya, bahwa apabila sampai terjadi perang terbuka dengan Belanda, maka kapal-kapal perang kita tak lebih dari semacam kotak sabun, yang tidak bisa digunakan untuk berperang, namun keputusan dan strategi yang dibuat oleh Menteri Luar Negeri Subandrio saat itu tetap direstui oleh Presiden Soekarno.


II.2 Membeli Senjata dari Uni Soviet
Sekitar bulan Desember tahun 1957, dimulailah strategi yang disusun Menteri Luar Negeri Subandrio dijalankan. Pada masa itu, semua perusahaan-perusahaan milik Belanda yang terdapat di Indonesia diambil alih oleh pemerintah Indonesia dan semua warga negara Belanda yang ada di Indonesia diusir dari tanah pertiwi ini. Lalu melanjutkan strategi tersebut dalam hal memperkuat militer, Indonesia bermaksud untuk membeli senjata kepada Amerika Serikat, namun ternyata pihak Amerika Serikat menunda penjualan senjata kepada Indonesia, dengan alasan takut akan digunakan Indonesia untuk menyerang Irian Barat.
Dengan adanya kegagalan pembelanjaan senjata ke Amerika Serikat, maka saat itu Menteri Luar Negeri Subandrio tidak kehabisan akal, beliau mengusulkan agar Indonesia membeli senjata ke Uni Soviet dan pada 20 Desember 1950 dikirimlah Jend. A.H. Nasution ke Uni Soviet untuk membeli senjata. Dengan anggaran U$ 12,5 juta pada bulan Mei jend. Nasution kembali ke Soviet untuk menyelesaikan kelanjutan pembelian senjata tersebut. Tanpa diduga-duga sikap Uni Soviet saat itu amat hangat terhadap kedatangan Jend. Nasution sebagai utusan Indonesia. Sikap hangat itu tercermin dari dihamparkannya permadani merah, dihadiri para perwira tinggi militer Soviet, bahkan pimpinan partai komunis Soviet serta Perdana Menteri Kruschev ikut menyambut kedatangan Jend. Nasution sebagai lambang penghormatan. Uni Soviet menjual senjata termodern sama seperti negara-negara anggota Pakta Warsawa kepada Indonesia pada saat itu.
Menganalisa penolakan penjualan senjata AS kepada Indonesia saat itu, tampaknya disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama AS tidak senang dengan politik netral Indonesia dalam pembendungan komunisme, AS tidak suka terhadap negara dunia ketiga yang bersikap netral. Kedua, Indonesia sebagai pemimpin negara-negara dunia ketiga dianggap sebagai salahsatu pencetus anti barat. Terakhir, AS melihat gejala semakin menguatnya PKI di Indonesia, maka dengan menjual senjata kepada Indonesia, sama artinya dengan mempersenjatai musuhnya. Dari dua sikap berbeda yang ditunjukkan oleh dua negara penguasa saat itu, Amerika Serikat dan
Uni Soviet, apapun bentuk sikap dua kutub kekuatan (bipolar) tersebut, biar bagaimanapun menjadi bagian dari proses perjuangan Indonesia dalam merebut kembali Irian Barat, yang cukup menentukan progresifitas dari strategi yang diterapkan Indonesia saat itu.
II.3 Akhir Perjuangan Merebut Irian Barat
19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengumumkan TRIKORA untuk pembebasan Irian Barat, masyarakat Indonesia memberikan sambutan hebat terhadap diumumkannya TRIKORA. Beribu sukarelawan Indonesia meminta dikirim ke Irian Barat. Segala persiapan kemungkinan terjadi perang terbuka antara Indonesia dengan Belanda, baik itu di darat, laut, maupun udara telah diperhitungkan matang-matang, Presiden Soekarno hanya tinggal mengumumkan hari-H penyerbuan, maka strategi penyerbuan tersebut siap dijalankan, namun tetap Presiden Soekarno tidak gegabah dalam mengumumkan hari-H penyerangan tersebut karena masih dijajaki kemungkinan perjuanagan merebut kembali Irian Barat bisa berhasil melalui diplomasi.
Setelah diumumkannya TRIKORA pada tanggal 19 Desember 1961, maka begitu proaktifnya sikap negara lain atas penyelesaian konflik Irian Barat tersebut. Presiden Soekarno mendapat undangan untuk mengunjungi Inggris dan undangan tersebut disambut baik oleh Presiden Soekarno. Undangan Ratu Elizabeth kepada Presiden Soekarno menimbulkan kemarahan bagi Ratu Louis Emma Marie Wilhelmina Juliana, namun ini sebuah keuntungan tersendiri bagi Indonesia, lalu kunjungan Perdana Menteri Djuanda ke Yogoslavia pun amat progresif, Yugoslavia menunjukkan rasa simpati dan pengertian yang dihadapi Indonesia Perihal Irian Barat. Begitu pula Australia, ketika Menteri Luar Negeri Subandrio berkunjung ke Australia dan menanyakan satu pertanyaan yaitu, “apabila ada persetujuan antara Belanda dan Indonesia atas dasar jalan damai dan sesuai dengan aturan internasional yang berlaku, apakah Australia akan menentang persetujuan tersebut?” lalu tanggapannya begitu menggembirakan, “Australia tidak akan menentang persetujuan tersebut.”
Maka, setelah lika-liku perjuangan merebut kembali Irian Barat mengalami banyak kerikil, mulai dari perundingan-perundingan marathon, diplomasi-diplomasi buntu, Bunker Plan, sampai pembentukan pemerintahan peralihan PBB, dan yang paling memanaskan suasana adalah insiden macan tutul di pulau Aru yang menewaskan Komodor Yos Soedarso, akhirnya setelah RI dan Belanda meratifikasi Persetujuan New York, maka pada 1 Mei 1963 UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) menyerahkan kekuasaan kepada Presiden Soekarno dan secara otomatis, sejak saat itu secara de facto, Irian Barat sudah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi.
II.4 Irian Barat Pasca Kembali ke Pangkuan Ibu Pertiwi
Setelah penyerahan kekuasaan atas Irian Barat kepada Indonesia oleh UNTEA pada
1 Mei 1963, maka dinaikkanlah sang merah putih yang kita cintai di tanah Irian Barat. Sorak sorai rakyat Indonesia begitu bergemuruh layaknya geledek yang mengampar-ampar ke tanah. Irian Barat telah kembali ke tangan Indonesia. Saat itu tidak pernah terpikir sekali pun oleh seluruh masyarakat Indonesia bahkan para pemimpin Indonesia saat itu, bahwa akan ada kelompok separatis di Irian Barat, kelompok yang berjuang untuk melepaskan Irian Barat dari wilayah NKRI, kelompok yang begitu saja dengan mudahnya menyatakan ingin terlepas dari wilayah NKRI tanpa mengingat betapa beratnya perjuangan di era revolusi dahulu dalam merebut kembali Irian Barat dari tangan kolonialisme Belanda.
Pada tanggal 31 Desember 1999, hampir 37 tahun setelah kembalinya Irian barat ke pangkuan Ibu Pertiwi, Presiden Abdurahman Wahid (Alm) dengan tidak banyak pertimbangan dan tanpa melalui prosedur yang sebagaimana mestinya menyetujui permintaan kelompok separatis Papua untuk mengubah nama ‘Irian’ menjadi ‘Papua’. Tuntutan perubahan itu diketahui bahwa menurut mereka, makna nama Irian adalah “Ikut Republik Indonesia Anti Nederland.” Mereka mengatakan nama Irian dengan makna seperti itu berkonotasi terlalu Indonesia, tuntutan seperti itu berarti bahwa kelompok separatis yang notabenenya merupakan warga negara Indonesia tiba-tiba bersikap “murtad”, tidak mengakui lagi bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Saat itu kaum separatis Papua juga menganggap bahwa Irian Barat bukan wilayah dari Hindia Belanda, jadi tidak bisa dinyatakan sebagai wilayah Republik Indonesia, itulah yang menjadi alasan konstitusi kaum separatis Papua ketika menuntut pemisahan Irian Barat dari Republik Indonesia.
Berdasarkan keinginan kaum separatis Papua itu, saya ingin menganalisa dengan menarik indikator dasar mulai dari era orde baru, atau ketika rezim yang paling lama berkuasa di Indonesia, meskipun memang harus diakui bahwa keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI memang telah ada sejak RIS dibubarkan, yaitu sekitar tahun 1950-an, tetapi pada rezim inilah dimulai masa baru kehidupan Indonesia yang sudah tidak lagi berkutat pada masalah kedaulatan, baik itu secara de facto, maupun de jure. Keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sebetulnya bukan hanya terjadi dikalangan masyarakat Papua, tetapi pernah diinginkan pula oleh masyarakat Aceh dan yang sampai benar-benar lepas dari wilayah NKRI adalah Timor-timur.
Salah satu sebab utama keinginan kaum separatis itu ingin memisahkan diri dari NKRI adalah tidak adanya perlakuan yang adil oleh pemerintah pusat. Yang ada hanyalah penyedotan hasil-hasil sumber daya alam di daerah mereka, yang hasilnya hanya dirasakan oleh korporasi terkait dan hampir tidak menyentuh sama sekali masyarakat asli daerah tersebut. Terbukti bahwa menurut laporan investigasi New York Times, Freeport hanya menyisihkan 1% dari revenue tahunannya untuk dana pembangunan Papua. Selanjutnya adalah pemerintahan korup orde baru yang malah memanfaatkan keberadaan Freeport di Papua untuk memperkaya diri masing-masing tanpa memikirkan kesejahteraan masyarakat Papua, seperti yang didapat dari laporan investigasi New York Times bahwa Freeport telah mengeluarkan dana sebesar $20 juta dolar kepada para jenderal tentara dan polisi, kolonel, mayor, kapten, dan satuan-satuan militer, sedangkan para komandan secara perorangan menerima puluhan ribu dolar. Belum lagi kebijakan pemerintah orde baru yang pada saat itu mewajibkan penduduk Papua untuk menyediakan tanah bagi para transmigran yang berasal dari jawa, namun tidak ada insentif yang diberikan oleh pemerintah terhadap penduduk Papua, bahkan karena keadaan tersebut, muncul sebuah pameo yang berbunyi “apabila kita orang ingin listrik, maka kita orang harus beri tanah pada transmigran.”

Belum lagi masalah kebijakan industrialisasi yang hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Keadaan ini membuat orang-orang Papua, khususnya pemuda sulit sekali mendapat akses untuk merubah kehidupan kearah yang lebih modern mengikuti perkembangan zaman dan masyarakat Indonesia lain yang memang telah terlebih dahulu mengecap modernisasi. Satu-satunya kesempatan yang ada hanyalah menjadi pegawai negeri, tetapi itu pun amat rentan praktik KKN dalam proses perekrutannya sehingga kembali membuat putra-putri Papua tersingkir.
Berdasarkan kondisi yang dipaparkan diatas, menjadi logis nampaknya apabila Irian Barat atau yang kini kita kenal dengan Papua ingin melepaskan diri dari wilayah NKRI. Ketidakadilan yang mereka terima selama puluhan tahun membuat mereka memilih untuk berpisah dari bagian republik ini. Mengherankan memang, masyarakat yang hidup berdampingan dengan tambang emas terbesar di dunia mengalami kehidupan yang amat terbelakang dan jauh dari kesejahteraan. Lantas untuk apa para pemimpin Indonesia saat itu berjuang mati-matian merebut kembali irian Barat jika setelah kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi malah tidak mendapatkan perhatian dan perlakuan yang sama dengan masyarakat di daerah-daerah Indonesia yang lain. Perjuangan diplomasi marathon pemimpin Indonesia dahulu nampak sia-sia karena pemerintah saat ini hanya mengurusi tanah Irian Barat tersebut dengan setengah hati. Melihat kondisi Indonesia yang seperti ini, kita seperti pernah diingatkan jauh-jauh hari dahulu oleh Bung Karno. Dahulu Bung Karno mengatakan, “Perjuanganku mudah karena melawan para penjajah, sedangkan perjuanganmu lebih sulit, karena melawan bangsa sendiri.” Kalimat itulah yang memang terjadi saat ini. Potret pemerintahan yang korup dan lebih berpihak pada korporasi asing tanpa mementingkan kesejahteraan rakyat, menyadarkan kita bahwa memang apa yang dikatakan Bung karno adalah benar adanya.
Irian Barat sebuah tanah cantik nan kaya raya yang dulu diperjuangkan mati-matian oleh para pemimpin bangsa Indonesia kala itu, kini seakan anak tiri yang tiada mendapat peduli dari sang Ibu Pertiwi. Irian Barat yang dahulu membuang banyak tenaga, pikiran, dan konsentrasi agar dapat kembali, kini ingin bebas nan mandiri tanpa bantuan Ibu Pertiwi. Keadaan inilah yang terjadi pasca kembali ke pangkuan negeri ini, keadaan yang telah terjadi akibat ulah bangsa sendiri.


BAB III
KESIMPULAN

Betapapun keras perjuangan pemimpin kita dahulu dalam menyatukan bangsa ini dari Sabang sampai Merauke, nampak sia-sia apabila generasi selanjutnya tidak amanah dalam menjalankan roda pemerintahan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya.
Perjuangan merebut kembali Irian Barat adalah bukti betapa rumitnya menjaga kedaulatan bangsa ini secara utuh. Keinginan suatu daerah untuk memisahkan diri dari bagian NKRI adalah satu sisi kebobrokan pemimpin bangsa ini yang harus segera dibenahi agar tidak terjadi lagi disintegrasi wilayah negara kesatuan kita. Keadaan yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari keteledoran-keteledoran atau bahkan mungkin pembiaran ketimpangan perekonomian antara pusat dengan daerah yang amat jauh.
Mengambil pelajaran dari apa yang telah terjadi, yakni lepasnya salah satu wilayah NKRI yaitu Timor Timur, maka tidaklah boleh terulang kembali dalam kasus Papua ini. Papua harus dipertahankan sampai titik darah penghabisan. Sampai kapanpun Indonesia harus tetap dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai ke Pulau Rote, disertai dengan terciptanya janji-janji kemerdekaan yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia dengan berdasarkan Pancasila, maka tidaklah sia-sia perjuangan para pemimpin kita terdahulu merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda. Maka bukanlah sebuah kesia-siaan diplomasi marathon yang terjadi dalam proses merebut kembali Irian Barat, apabila pemerintah Indonesia saat ini, tidak mengurusnya dengan setengah hati.




DAFTAR PUSTAKA

1. Soetrisno Lukman, Konflik Sosial, Yogyakarta: Tajidu Press, Maret 2003
2. Subandrio, Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat, Jakarta: Yayasan Kepada Bangsaku,
2000 dan 2001
3. Robert C. Bone, Jr. The Dynamic of Western New Guinea (Irian Barat) Problem, Modern
Indonesian Project, New York: Department of Far Eastern Studies, Cornell University, 1958
4. Ide Anak Agung Gde Agung, twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965,
Yogyakarta: Dutawacana University Press, 1990

5. “The Cost of Gold, the Hidden Payroll: Below a Mountain of Wealth, a River of Waste,” The
New York Times, 27 Dec 2005

6. Pewarta Djakarta, Arti Irian Barat Djika Perang Petjah, 16 Mei 1954

1 komentar:

  1. Maksudnya yang setengah hati adalah Indonesia dalam menangani Papua setelah 1969? Fokus pembahasan kamu hilang arah ketika kamu ingin membicarakan proses diplomasi pengakuan Papua sebagai wilayah kedaulatan Indonesia dan berujung dengan the Act of Free Choice 1969 namum mencoba mengkaitkan dengan penanganan pembangunan Papua terkait dengan hubungan kekuasaan Pusat dan daerah. Apakah ini termasuk dalam lingkup diplomasi speerti yang kamu maksud dalam subjek analisa pertama?

    BalasHapus