Rabu, 02 Juni 2010

Achmad Bagus Prasetyo, NIM 208000333, Dosen : Shiskha Prabawaningtyas



Pencapaian Diplomasi Indonesia Terhadap Eropa

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kegagalan perundingan Linggarjati yang menyebabkan agresi militer pertama, memaksa Indonesia dan Belanda untuk berunding kembali dan melaksanakan perundingan Renville. Pada perundingan Renville ini Indonesia diwakili oleh Amir Syarifudin dan Dr. Leimena, sementara Belanda diwakili oleh Vredenburg dan Abdul Kadir Widjojo. Dalam perundingan ini Belanda mengusulkan akan melakukan gencatan senjata tetapi tidak menarik pasukannya, dan garis Van Mook harus dikosongkan oleh pihak RI. Namun RI tidak setuju karena hal ini diangggap merugikan. Tetapi Graham (penengah dari komisi jasa baik) menyarankan pihak RI agar menyetujui perundingan ini, supaya konflik ini tidak semakin panjang dan akhirnya selesai.
Indonesia protes dengan kebijakan yang dibuat oleh komisi jasa baik karena dianggap merugikan Indonesia. Belanda disebut-sebut merusak perjanjian Renville karena Indonesia merasa dirugikan oleh kepungan Belanda di daerahnya sendiri. Akhirnya Graham, wakil dari Amerika yang ditunjuk sebagai penengah digantikan oleh Cochran. Lalu untuk mempercepat pelaksanaan keputusan Renville akhirnya dibuat “Cochran Plan” yang isinya agar Belanda secara step by step memberikan kedaulatan pada Indonesia. Tidak lama setelah itu terjadi pergolakan PKI di Madiun, Belanda menganggap Indonesia semakin lemah tapi akhirnya Indonesia membuktikan dengan berhasil menumpas pergolakan tersebut. Hatta saat itu tidak setuju dengan adanya pemerintahan transisi dan mengirim surat ke Belanda melalui komisi jasa baik. Namun permintaan tersebut ditolak oleh pihak Belanda. Alih-alih memperhatikan permintaan Indonesia, Belanda malah mengirimkan ultimatum kepada Indonesia sebagai awal dimulainya Agresi Militer II.

Rumusan masalah
Bagaimana diplomasi Indonesia dalam mencapai kadaulatan dari tahun 1948 dan apa diplomasi lain yang dilakukan Indonesia terhadap negara – negara lain ?

BAB II
PEMBAHASAN
1. Awal Mula
Kemerdekaan Indonesia sudah diproklamasikan sejak tanggal 17 Agustus 1945, namun Belanda belum menerima kemerdekaan Indonesia. Banyak usaha-usaha yang dilakukan oleh Belanda untuk merebut kembali Indonesia menjadi daerah jajahannya. Agresi Militer I adalah salah satu contohnya. Penyelesaian agresi tersebut akhirnya diselesaikan melalui perundingan Renville. Perundingan Renville ditandatangani pada tanggal 17 dan 19 Januari 1948, isinya adalah Kedaulatan seluruh Hindia Belanda akan menjadi Negara berdaulat dan merdeka. Status republik (dalam wilayah yang tak ditentukan batasnya) akan menjadi negara bagian dari Indonesia serikat. Negara serikat ini nantinya akan menjadi negara mitra sederajat dengan Belanda dalam suatu kesatuan di bawah pimpinan Raja Belanda.
Diplomasi Indonesia sebagai Upaya Mencapai Pengakuan Kedaulatan.
Upaya-upaya diplomasi Indonesia yang kita lihat pada tahun 1948-1949 lebih mengandalkan bantuan pihak ketiga dan perundingan secara multilateral. Dari awal perjuangan diplomasi Indonesia, bantuan pihak ketiga sangat membantu proses berjalannya perundingan-perundingan yang dilakukan oleh pihak Indonesia dan Belanda. Mulai dari bantuan pihak Inggris pada perjanjian Hoge Veluwe ada tahun 1946, dukungan negara-negara Arab, bantuan dari Australia dan India khususnya untuk memperjuangkan isu mengenai negara Indonesia dalam forum sidang Dewan Keamanan PBB hingga terbentuknya Komisi Jasa Baik dan UNCI oleh Dewan Keamanan PBB merupakan bentuk intervensi dari pihak ketiga dalam perjuangan mencapai pengakuan kedaulatan. Bantuan-bantuan tersebut tidak mungkin diperoleh apabila Indonesia tidak melakukan upaya diplomasi kepada pihak-pihak tersebut dalam mendukung upaya pengakuan kedaulatan bagi pihak Indonesia.
Gaya diplomasi yang dipakai oleh pihak Indonesia pada tahun 1948 lebih cenderung menggunakan gaya diplomasi dengan memanfaatkan pihak ketiga. Strategi diplomasi Indonesia pada saat itu tidak lebih merupakan implementasi dari tiga sasaran utama diplomasi Indonesia pada saat itu yakni mencari pengakuan kedaulatan internasional, mencegah upaya Belanda untuk masuk ke Indonesia kembali, serta meminta bantuan PBB untuk menyelesaikan sengketa dengan Belanda.
Diplomasi, seperti yang telah disebutkan di atas merupakan ujung tombak perjuangan bangsa Indonesia. Alasan lain diambilnya jalan diplomasi sebab tindakan konfrontasi yang dilakukan Belanda tidak bisa diseimbangkan oleh perlawanan rakyat Indonesia. Seperti yang juga telah kita ketahui bahwa proses diplomasi Indonesia dalam upaya mencapai pengakuan kedaulatan merupakan perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan. Berbulan-bulan lamanya mengadakan suatu negosiasi dan perundingan untuk mencapai tujuan yang diinginkan, tidak sedikit mendapatkan hasil yang mengecewakan seperti yang terjadi pada perjanjian Renville. Teori Shop Keeper (Merchantile) yang dibuat oleh Harold Nicholson melalui jalan kompromi dan negosiasi menggambarkan upaya diplomasi Indonesia demi memperoleh pengakuan kedaulatan .

Contoh diplomasi Indonesia masa kini dengan salah satu negara Eropa yaitu Perancis dalam bidang pendidikan

Setelah mengalami perlambatan akibat krisis keuangan Asia dan krisis politik pada periode tahun 1998 - 1999, hubungan bilateral Indonesia Perancis digiatkan kembali, sejak terpilihnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada Pemilu langsung tahun 2004. Persamaan analisis dan pandangan Perancis dan Indonesia atas berbagai isu internasional (mengutamakan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa, mengedepankan dialog dalam penyelesaian krisis, bantuan pada pembangunan, dukungan pada keanekaragaman budaya) mendorong mendekatkan kedua negara. Di samping itu, Indonesia yang merupakan negara muslim terbesar dan negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbanyak di dunia, ditinjau dari posisinya di tingkat regional maupun peranannya di kancah internasional, merupakan mitra yang penting bagi negara kami.
Meskipun jumlahnya masih di bawah ambisi kami, rangkaian kunjungan bilateral terakhir dimanfaatkan oleh Perancis untuk menyatakan dukungannya kepada Pemerintah Indonesia yang telah berhasil membawa negaranya melangkah di jalan demokrasi dan reformasi.
Bapak Xavier Darcos, Menteri Urusan Kerjasama, Pembangunan, dan Frankofoni melakukan lawatan ke Indonesia pada bulan Januari 2005 Bapak Renaud Muselier, Menteri Muda Luar Negeri pada bulan Maret 2005 dan Bapak Francois Loos, Menteri Perdagangan Luar Negeri, yang didampingi oleh delegasi pengusaha Perancis, juga pada bulan Maret 2005. Di sela-sela KTT ASEM di Helsinki bulan September 2006, Presiden Republik Perancis Jacques Chirac sempat berbincang-bincang dengan Presiden Republik Indonesia. Sementara menteri luar negeri kedua negara berjumpa di New York pada akhir September 2006 di samping Sidang Umum PBB. Kunjungan Menteri Muda Luar Negeri dan Hak Asasi Manusia Ibu Rama Yade ke Jakarta di bulan September 2007 telah memungkinkan dilaksanakannya dialog politik tingkat tinggi dan menandai keinginan bersama kedua negara untuk mempererat hubungan di berbagai bidang. Hubungan ekonomi Perancis-Indonesia bertumpu pada kehadiran sekitar seratus perusahaan Perancis, mayoritasnya bagian dari kelompok usaha Perancis besar dan sejumlah UKM yang sudah lama menetap di Indonesia dan terus berkembang.
Di bidang kerjasama, politik kami di Indonesia ditekankan pada berbagai bidang : kerjasama universitas dan penelitian, penguatan pemerintahan yang demokratis dan negara hukum, promosi keanekaragaman budaya dan studi di Perancis, penggalakan kembali pelajaran bahasa Perancis. Selain itu, kehadiran lembaga kebudayaan Perancis di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Bali dan Balikpapan memungkinkan Perancis menonjolkan budaya Perancis, seperti Printemps français (Musim Semi Budaya Perancis di Indonesia) yang pada setiap tahunnya banyak menarik perhatian masyarakat.
Menyusul bencana tsunami Desember 2004, Perancis menjalankan berbagai proyek bantuan (bantuan logistik Angkatan Bersenjata Perancis senilai ± 16,5 juta €, bantuan untuk rekonstruksi dari Pemerintah sebesar 10,6 juta €, bantuan dari Asosiasi Pemerintah Daerah Perancis 20 juta €). Di samping itu, dijalin pula kemitraan dengan Palang Merah Perancis dalam sebuah program pencegahan dan penanggulangan bencana yang mencakup pembangunan ruang pusat pengendalian operasi penanggulangan bencana (Pusdalop PB) di tingkat nasional dan di sejumlah daerah, pelatihan bagi personil terkait dan penyebaran informasi serta sosialisasi kepada penduduk setempat.
Selain itu, hubungan kami dengan Indonesia perlu dilihat dalam kerangka politik kami yang lebih besar di Asia dan Asia Tenggara. Memang, Perancis mempunyai minat khusus pada ASEAN yang merupakan, bersama India, Cina dan Jepang, salah satu pilar keseimbangan regional. Keanggotaan Perancis (negara Eropa pertama) pada Traktat Persahabatan dan Kerjasama (TAC), di bulan Januari 2007, pada KTT ASEAN di Cebu (Filipina), merupakan titik keberhasilan logis dari kepentingan tersebut. Perlu diingatkan bahwa bahwa komitmen Perancis di masa lalu untuk mengembangkan dialog Eropa - Asia telah mendorong munculnya sejumlah prakarsa regional baik dalam kerangka ASEM maupun dalam penguatan kerjasama antara Uni Eropa dan ASEAN. Bersama 7 negara lain, Perancis juga ikut serta dalam misi pengawasan kesepakatan damai di Aceh yang untuk pertama kalinya menggabungkan Uni Eropa dengan beberapa negara ASEAN. Selain itu, lima orang dari Perancis menjadi bagian dari misi pengawasan pilkada Uni Eropa di Aceh, pada bulan Desember 2006. Kinerja Aceh Monitoring Mission telah memberikan satu ilustrasi nyata dan sukses dari pernyataan itikad Eropa yang mendukung perkembangan kerjasama di dalam kerangka Politik Keamanan dan Pertahanan Eropa (PESD).

Kesimpulan
Poin penting yang bisa diambil dari sejarah diplomasi Indonesia tahun 1948 sampai saat ini adalah cara diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia, dimana akan sulit untuk berhasil tanpa dukungan dari pihak-pihak asing yang sebenarnya telah mengakui kemerdekaan Indonesia namun masih menunggu diserahkannya kedaulatan secara penuh oleh Belanda yang tadinya merupakan negara penjajah kepada Indonesia sebagai bekas negara jajahan. Diterimanya delegasi Indonesia di PBB dan dibuatkannya resolusi khusus Dewan Keamanan PBB untuk masalah Indonesia memperlihatkan bahwa diplomasi Indonesia telah mencapai sasarannya untuk mendapatkan pengakuan Internasional walaupun pada saat itu belum sepenuhnya diakui secara formal dan legal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar