Rabu, 02 Juni 2010

Bagaimana peranan GNB dalam menghadapi tantangan dunia dan relevansinya di era globalisasi

Nama : Anggit Amertara Nuswantari
NIM : 209000225
BAB
I
I.I Latar belakang
Jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 menandakan berakhirnya Perang Dunia II. Namun berakhirnya Perang Dunia II tidak turut serta membawa perdamaian di dunia ini. Konflik antara Negara-negara besar di Dunia tak kunjung usai. Hal ini telihat dari semakin meruncingnya perang antara Amerika dan Soviet. Memang bentuk perang tidak secara nyata dengan cara kekerasan. Namun konflik ideologi, perang tekhnologi sangat dapat dirasakan. Dimana ketika Soviet membuat roket lalu tidak lama kemudian disusul oleh Amerika dan begitu seterusnya. Dan mereka pun berlomba untuk mengekspansi ideologi mereka dengan masuk ke dalam Negara-negara kecil didunia dan mendoktrin sehingga Negara tersebut mengikuti salah satu ideologi mereka berdua. Dalam masa ini dunia dikuasai oleh dua Negara yang memiliki pengaruh besar hingga membuat sistem dunia ini menjadi Bipolar.
Konflik ini dikenal dengan nama Perang Dingin dimana pada konflik ini  tidak terjadi penyerangan secara koersif, melainkan lebih kepada saling berlomba menjadi lebih unggul dan perang ideologi karena keduanya sama-sama kuat dan bercita-cita untuk menjadi hegemon di dunia ini. Perang Dingin pun berdampak kepada Negara-negara kecil pada saat itu. Karena kedua Negara besar ini saling bersaing untuk menyebarkan ideologi mereka maka kedua Negara ini selalu masuk ke dalam konflik intern yang terjadi di Negara-negara kecil. Hal ini bertujuan untuk menarik simpati Negara-negara kecil tersebut sehingga mau mengikuti salah satu dari ideologi mereka. Kedua Negara tersebut tidak segan-segan dalam ikut campur terhadap maalah yang ada di Negara kecil. Bahakan mereka dapat membuat negar kecil tersebut menjadi ketergantungan pada banyuan mereka. Maka dengan kesadaran dimanfaatkan oleh keadaan dan keinginan untuk mengapus kekuatan Bipolar ini muncul gerakan dari Negara Afrika dan Asia untuk melakukan sesuatu agar hal ini tidak berlanjut. Dan akhirnya terbentuklah “Gerakan Non-Blok (GNB)” sebagai bentuk penolakan terhadap adanya kekuatan dua blok besar ini.

I.II Rumusan Masalah
Maka dalam makalah ini akan diangkat isu mengenai, Bagaimana peranan GNB dalam menghadapi tantangan dunia dan relevansinya di Era Globalisasi?
I.III Kerangka Teori
Lahirnya hubungan Negara-negara dalam konteks multilateral pertama kali muncul dikarenakan setiap Negara merasa kurang mampu dalam melakukan atau meyelesaikan suatu problem yang menyangkut negaranya sendirian. Hal ini memicu dibangunnya aliansi untuk sama-sama menghadapi tantangan tersebut. Pada awalnya hubungan antar Negara ini hanya bersifat regional. Mengapa demikian? Karena Negara yang berasal dari region yang sama merasa memiliki rasa senasib sepenanggungan. Karena pasti efek yang akan terjadi dari dari suatu Negara akan berimbas domino kepada Negara lain, apalagi bila berada dalam satu lingkup. Perkembangan ketergantungan antar Negara ini pun tidak berhenti sampai pada tingkat regional saja namun makin berkembangnya zaman sehingga era globalisasi tidak dapat dibendung lagi  maka hubungan saling ketergantungan pun meluas tidak hanya dalam tingkat regional tapi dalam tingkat dunia.
Hubungan yang terjalin dari tiga Negara atau lebih disebut konsep multilateral[1]. Dalam konteks ini lebih menjurus terhadap konsep hubungan antar Negara tingkat dunia bukan hanya tingkat kawasan, karena jika hubungan tingkat kawasan biasa disebut dengan regional. Konsep ini pun tidak lahir dari hanya sekedar jumlah dari negaranya tapi juga ketika focus kepada multilateral maka akan muncul satu alat yang mengatur Negara-negara dan dalam mengatur hubungan itu tidak ada dilriminasi terhadap Negara tersebut. Jadi dalam hubungan tersebut tidak ada satu Negara yang menjadi dominasi. Misalnya dalam konsep collective-security[2].stau hubungan dapat dikatakan multilateral bila didalamnya mengandung unsur kepentingan bersama. GATT  (General Agreement on Tariffs and Trade) merupakan suatu gerakan gabungan antar Negara yang terdiri lebih dari tida Negara namun ia tidak dapat digolongkan sebagai multilateral hal ini lebih cocok masuk ke dalam konsep bilateral[3].
Mengapa demikian? Karena dalam GATT sendiri keputusannya berdasarkan case-to-case, product-to-product walaupun terdiri dari banyak Negara[4]. Yang disebut multilateral adalah bila dimana suatu gerakan didalam hubungan antra Negara tersebut membawa kepentingan bagi semuanya seperti alasan Amerika melakukan inspeksi ke Iraq karena kekhawatiran Iraq memiliki nuklir yang dapat mengancam kehidupan dan perdamaian dunia.
Multilateral tentu saja memiliki aturan aturan-aturan didalamnya untuk mengatur hubungan yang terjalin antar Negara. Namun hubungan multilateral juga bersifat fleksibel dimana aturan tersebut dapat berubah sesuai dengan kebutuhan saat itu dan mengikuti kemajuan zaman[5]. Karena dunia ini bersifat dinamis dan perunbahan cepat sekali terjadi dan dalam hal itu pun setiap Negara butuh mengikuti perubahan tersebut agar tidak tertinggal. Selain itu keadaan domestik pula memegang peranan penting, karena seperti kita tahu kondisi domestik akan mempengaruhi kebijakan dan politik luar negri suatu Negara[6]. Maka dalam kerjasama multilateral pun kondisi domestik pasti memperngaruhi kedudukan dan peran Negara tersebut. Contohnya saja Indonesia pada konferensi Climate Change, pasti Indonesia akan menempatkan diri pada standing position yang menguntungkan dengan cara tidak mungkink akan membahas tentang kerusakan hutan, dll yang menjadi nilai minus Indonesia.



BAB
II
II.I Indonesia dan GNB (Gerakan Non-Blok)
Kata "Non-Blok" diperkenalkan pertama kali oleh Perdana Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka. Dalam pidato itu, Nehru menjelaskan lima pilar yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk membentuk relasi Sino-India yang disebut dengan Panchsheel (lima pengendali). Prinsip ini kemudian digunakan sebagai basis dari Gerakan Non-Blok. Lima prinsip tersebut adalah:
  1. Saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan.
  2. Perjanjian non-agresi
  3. Tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain
  4. Kesetaraan dan keuntungan bersama
  5. Menjaga perdamaian
Gerakan Non-Blok sendiri bermula dari sebuah Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika sebuah konferensi yang diadakan di Bandung, Indonesia, pada tahun 1955. Di sana, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri dari gerakan ini adalah lima pemimpin dunia: Josip Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal Abdul Nasser presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India, dan Kwame Nkrumah dari Ghana.
Gerakan Non-Blok (GNB) (bahasa Inggris: Non-Aligned Movement/NAM) adalah suatu organisasi internasional yang terdiri dari lebih dari 100 negara-negara yang tidak menganggap dirinya beraliansi dengan atau terhadap blok kekuatan besar apapun. Tujuan dari organisasi ini, seperti yang tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979, adalah untuk menjamin "kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-negara nonblok" dalam perjuangan mereka menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan menentang segala bentuk blok politik. Mereka merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keangotaan PBB. Negara-negara yang telah menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Non-Blok termasuk Yugoslavia, Mesir, Zambia, Aljazair, Sri Lanka, Kuba, India, Zimbabwe, Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan dan Malaysia.
Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan dan integritas nasional negara-negara anggota[7]. Tujuan penting lainnya adalah penentangan terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang kolonialisme,  neo-kolonialisme, rasisme, pendudukan dan dominasi asing, perlucutan senjata, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan hidup berdampingan secara damai, penolakan terhadap penggunaan atau ancaman kekuatan dalam hubungan internasional, pembangunan ekonomi-sosial dan restrukturisasi sistem perekonomian internasional; serta kerjasama internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB.
Anggota-anggota penting di antaranya Yugoslavia, India, Mesir, Indonesia, Pakistan, Kuba, Kolombia, Venezuela, Afrika Selatan, Iran, Malaysia, dan untuk suatu masa, Republik Rakyat Cina. Meskipun organisasi ini dimaksudkan untuk menjadi aliansi yang dekat seperti NATO atau Pakta Warsawa, negara-negara anggotanya tidak pernah mempunyai kedekatan yang diinginkan dan banyak anggotanya yang akhirnya diajak beraliansi salah satu negara-negara adidaya tersebut. Misalnya, Kuba mempunyai hubungan yang dekat dengan Uni Soviet pada masa Perang Dingin. Atau India yang bersekutu dengan Uni Soviet untuk melawan Tiongkok selama beberapa tahun. Lebih buruk lagi, beberapa anggota bahkan terlibat konflik dengan anggota lainnya, seperti misalnya konflik antara India dengan Pakistan, Iran dengan Irak. Gerakan ini sempat terpecah pada saat Uni Soviet menginvasi Afganistan pada tahun 1979. Ketika itu, seluruh sekutu Soviet mendukung invasi sementara anggota GNB, terutama negara dengan mayoritas muslim, tidak mungkin melakukan hal yang sama untuk Afghanistan akibat adanya perjanjian nonintervensi.
Gerakan ini sempat kehilangan kredibilitasnya pada akhir tahun1960-an ketika anggota-anggotanya mulai terpecah dan bergabung bersama Blok lain, terutama Blok Timur. Muncul pertanyaan bagaimana sebuah negara yang bersekutu dengan Uni Soviet seperti Kuba bisa mengklaim dirinya sebagai negara nonblok. Gerakan ini kemudian terpecah sepenuhnya pada masa invasi Soviet terhadap Afghanistan tahun 1979.
GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB[8]. KAA tahun 1955 yang diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan ‘Dasa Sila Bandung’ yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus, Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB. Indonesia menilai penting GNB tidak sekedar dari peran yang selama ini dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih mengingat prinsip dan tujuan GNB merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, pada tahun 1992, sebagian besar ketidakpastian dan keragu-raguan mengenai peran dan masa depan GNB berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode kepemimpinan Indonesia dan memuat visi baru GNB, antara lain[9]:
·Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan kerjasama konstruktif sebagai komponen integral hubungan internasional;
·Menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi kemerdekaan yang berhasil dicapai melalui perjuangan GNB sebelumnya;
·Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan kerjasama Selatan-Selatan.

Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga “menghidupkan kembali dialog konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara (genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, dan tanggung jawab bersama”. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian masalah hutang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/ Heavily Indebted Poor Countries) yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif. Sementara guna memperkuat kerjasama Selatan-Selatan, KTT GNB ke-10 di Jakarta sepakat untuk “mengintensifkan kerjasama Selatan-Selatan berdasarkan prinsip collective self-reliance”. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT Cartagena, Indonesia bersama Brunei Darussalam.
Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah memaksa GNB terus mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya, agar sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya tetap relevan tidak hanya bagi negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara, perlucutan senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di bidang ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan kebijakan dan perjuangannya.  Dalam konteks ini, GNB memandang perannya tidak hanya sebagai obyek tetapi sebagai mitra seimbang .
Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-negara berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan dengan memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB.
KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan sendiri bagi rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194. GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua wilayah tersebut. GNB juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4 Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.
Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya peningkatan peran GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan internasional, proses dialog dan kerjasama dalam upaya penyelesaian damai konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan ancaman keamanan global baru. Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite Ekonomi dan Social, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite Politik, dan anggota Komite Palestina.
II.II GNB = Masih Relevan?
Gerakan Non Blok (GNB) belakang ini sedang muncul lagi di permukaan, tepatnya di Afrika selatan. Hal ini mengingat kondisi di dunia ini sudah tidak dibawa pengaruh dua blok besar. Maka muncul pertanyaan mau kemana GNB ni akan dibawa? Di bidang apa  program kegiatan dan fokus GNB? Prioritas apa yang akan dilakukan GNB? Bagaimana GNB memberikan pengaruh kepada kepbijakan-kebijakan yang ada untuk memajukan kesejahteraan anggota-anggotanya? Dan masih banyak pertanyaan muncul dan sebagaian besar memberikan tanda Tanya kepada apa yang akan dilakukan GNB selanjutnya mengingan keadaan yang telah berubah.
Oleh karena banyak nya pertanyaan tersebut Afrika Selatan yang menjabat sebagai president GNB saat ini membuat suatau “brainstorming” terhadap anggota-anggota GMNB di Arrabela Resort dekat dengan Cape Town, Afrika Selatan pada 2-14 Desember 2002[10]. Pertemuan ini dihadiri oleh beberapa anggota GNB diantaranya Aljazair, KOlumbia, Kuba, India, Indonesia, Jamaika, Yordania, Malaysia, Mozambik, Zimbabwe. Sebelumadanya konferensi ini telah diadakan konfrensi sebelumnya pada bulan april 2002 hal itu diselenggarakan untuk membuat suatu angin segar yang akan disumbangkan kepada KTT yang di Kuala Lumpur hal ini juga diharapkan menjadi salah satu masukan bagi deklarasi dari konferensi tersebut.
Dalam konfereksi ini pun ada yang menanyakan yaitu Amr Moussa yang merupakan sekertaris jendral dari Liga Arab dan merupakan mantan mentri luar negri Mesir, tentang Relevansi GNB itu sendiri[11]. Memang bila dilihat dari keadaan dunia sekarang ini dimana sudah tidak ada lagi dua blok yang yang berkuasa maka apakah sebaiknya label GNB itu sendiri di rubah menjadi “Gerakan untuk demokrasi, Keamanan , dan Pembangunan” dengan harapan memberi hawa baru dan agar lebih relevan dengan apa yang ada di dunia sekarang.
Memang pertanyaan seperti itu yang ada dibenak masing-masing anggota bahkan kita sebagai kaum awam. GNB itu sendiri termasuk suau gerakan yang memilik tindakan nyata dalam membantu anggota-anggotanya yaitu dapat dilihat dari banyaknya Negara anggota GNB yang berhasil lepas dari cengkraman Kolonialisme dan hal ini pun menjadi salah satu issue yang penting bagi pergerakan yang telah GNB lakukan. GNB sendiri memiliki keuntunga bagi Negara anggotanya diantaranya GNB bukan saja aktif keluar namun juga membantu Negara-negara anggotanya yang masih hidup dibawah garis kemiskinan, keterbelakangan, dan mengakhiri dominasi dan diskriminasi yang terjadi.
Hal ini juga dilakukan untuk melindungi Negara-negara kecil dari proses Globalisasi yang sangat cepat mengingat keterbatasan dalam bidang finansial dan krisis yang ada didalam Negara mereka sehinnga dengan GNB ini dapat mengcover hal tersebut. Yaitu dengan GNB Negara-negara juga memiliki suatu wadah untuk mengemukakan pendapat mereka dan dalam lingkup yang besar.
Maka dapat dikatakan bahwa untuk dapat senantiasa memelihara kerelevansian GNB makan ada hal-hal yang perlu di dilakukan diantaranya yaitu dengan meningkatkan efisiensi, efetifitas, produktifitas dan kualitas sebagai salah satu gerakan modern yang dapat merangkul seluruh anggotanya dan melakukan atau memutuskan kebijakan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh negran dan Negara -negara kecil tersebut[12]. GNB juga harus mulai fokus, aktualitas, responsif denga issue yang berkembang di dunia. Mengenai nema mungkin hal tersebut bukan hal yang terlalu penting karena pada akhirnya hal tersebut akan sia-sia bila tdak didukung oleh komitmen dan pembetulan struktur didalamnya.
BAB
III
Kesimpulan
GNB sebagai suatu gerakan yang memiliki visi dan misi yang sangat baik pada masa perang dingin dam memiliki kemajuan pesat padaanggota-anggotanya belakangan mulai dipertanyakan ke-relevansiannya. Karena melihat kondisi dunia dimana sudah tidak ada lagi dua blok yang mendominasi kekuatan didunia. Untuk memunculkan eksistensi nya kembali GNB mulai melakukan konferensi untuk membuat suatu gerakan sehingga keberadaan GNB dapat tetap ada dan tidak hilang begitu saja. Karena GNB sendiri sangat berperan dan memiliki manfaat yang sangat besat kepada anggotanya. Dengan adanya GNB ini menolong Negara-negara di Asia dan Afrika lepas dari kolonialisme dan dapat merdeka. Sayang rasanya bila hal ini harus hilang begitu saja karena masih banyak yang dapat dilakukan sekarang ini untuk menuju dunia yang lebih baik. Dan kita tau GNB dipimpin orang-orang yang ahli maka kita akan terus menunggu gebrakan yang akan dilakukan selanjutnya.








DAFTAR PUSTAKA

Ruggie Gerard John.1993.Multilateralism Matters (Columbia University Press ).
Wibisono makarim.2006.Tantangan Dilomasi Multilateral (LP3ES).



[1] John Gerard Ruggie.Multilateralism Matters (Columbia University Press :1993).hal,6
[2] Ibid.hal,9
[3] Ibid.hal,8
[4] John Gerard Ruggie.Multilateralism Matters (Columbia University Press :1993).hal,9
[5] Ibid.hal,155
[6] Ibid.hal,157
[9] Ibid.
[10] Makari Wibisono.Tantangan Dilomasi Multilateral (LP3ES : 2006).hal,152
[11] Ibid.hal,153
[12] Makari Wibisono.Tantangan Dilomasi Multilateral (LP3ES : 2006).hal,154

1 komentar:

  1. Anda telah melakukan plagiatarism. SEbagian besar copy paste dari link ini
    http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_Non-Blok.
    Tidak ada nilai untuk ini.

    BalasHapus