Rabu, 02 Juni 2010

PERAN PBB DALAM MENYELESAIKAN PEREBUTAN WILAYAH KASHMIR ANTARA INDIA-PAKISTAN PERIODE 1947-1977


VINESSIA WILLIAM PUTRI
207000209



BAB I
PENDAHULUAN


1.1  Latar Belakang Masalah

Asia Selatan adalah suatu kawasan yang berbatasan dengan Asia Tengah di utara, Asia Timur di timur, Asia Tenggara di sisi tenggara, Asia Barat di sebelah barat, dan Samudera Hindia di sebelah selatan. Asia Selatan juga merupakan salah satu kawasan yang penduduknya terpadat di dunia. Dengan memiliki luas wilayah kira-kira 4.480.000 km², kepadatan penduduk Asia Selatan mencapai sekitar 1,6 miliar jiwa.[1]

India merupakan salah satu negara di Asia Selatan yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Tetapi ketika Islam masuk ke India dan berkembang pesat, posisi umat Hindu menjadi melemah. Perkembangan  Islam yang pesat membuat masyarakat Hindu berkeinginan untuk mengembalikan kejayaan mereka ketika sebelum Islam masuk ke India. Keinginan masyarakat Hindu tersebut mengakibatkan tindakan diskriminatif terhadap masyarakat Muslim.

Keberadaan masyarakat Muslim semakin melemah akibat tindakan diskriminatif yang diterima, antara lain yaitu menutup akses bagi masyarakat Muslim untuk memasuki lembaga pendidikan, serta lapangan kerja di sektor swasta maupun sektor publik.[2]   Berbagai tindakan diskriminatif yang dirasakan masyarakat Muslim di India membuat masyarakat Muslim berkeinginan untuk memisahkan diri dari India dan membentuk negara sendiri yaitu Pakistan.

Tetapi keinginan masyarakat Muslim untuk membentuk negara Pakistan menghadapi hambatan. Hambatan tersebut muncul karena adanya perbedaan pendapat antar kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Jawaharlal Nehru, menginginkan India merdeka dan tetap bersatu. Sedangkan kelompok kedua yang dipimpin oleh Mohammad Ali Jinnah menginginkan dibentuknya sebuah negara bagi masyarakat Muslim.[3]
Ketika dibawah kekuasaan kolonial Inggris, status pemerintahan wilayah-wilayah di Asia Selatan dibagi atas dua kategori. Yang pertama yaitu British India, dimana seluruh wilayah kategori ini berada dibawah kekuasaan Inggris. Yang kedua yaitu Princely State, dimana seluruh wilayah kategori ini mengakui Inggris sebagai kekuasaan tertinggi (Paramount Power) tetapi wilayah-wilayah tersebut pada dasarnya independen, bebas menyelenggarakan urusan sendiri kecuali dalam aspek pertahanan, politik luar negeri dan komunisasi.[4]

Menjelang berakhirnya kekuasaan kolonial Inggris, wakil tertinggi pemerintah Inggris di India, mengeluarkan dekrit bahwa dengan berakhirnya kekuasaan Inggris dan hapusnya Paramounty Doctrine, penguasa Princely State harus menentukan status wilayahnya akan bergabung dengan India atau Pakistan, dengan mempertimbangkan kedekatan geografis, kesamaan budaya, struktur dan tingkat kemajuan ekonomi, serta demografi wilayah masing-masing.[5]

Pada 15 Agustus 1947, ketika masa kolonial Inggris berakhir di India maka India menjadi sebuah negara merdeka dan Pakistan berdiri sebagai sebuah negara baru di Asia Selatan. Pembagian wilayah antara India dan Pakistan didasarkan pada prinsip Partition, yang pada intinya menyatakan bahwa wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu akan bergabung dengan India. Sedangkan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam akan bergabung dengan Pakistan.

Prinsip Partition tidak dapat berjalan dengan baik ketika ada tiga wilayah yang memiliki perbedaan keinginan antara masyarakat dengan penguasa. Tiga wilayah itu adalah Junagadh, Hyderabad, dan Kashmir. Pada akhirnya permasalahan Junagadh dan Hyderabad dapat terselesaikan dengan mengadakan pelaksanaan referendum. Tetapi permasalahan wilayah Kashmir malah menjadi berlarut-larut yang menjadikan perebutan wilayah antara India dan Pakistan.

Junagadh dan Hyderabadh merupakan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu namun dikuasai oleh Muslim. Pada awalnya, Junagadh memutuskan untuk bergabung dengan Pakistan. Namun, keputusan tersebut di tentang India atas dasar prinsip Partition. Kemudian disepakati bahwa status Junagadh dan Hyderabadh diputuskan berdasarkan referendum dibawah pengawasan India. Sesuai hasil referendum, maka Junagadh dan Hyderabadh bergabung dengan India.

Kashmir merupakan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam namun dikuasai oleh umat Hindu. Namun hingga saat partisi India, Kashmir belum menentukan keputusan untuk bergabung dengan India atau Pakistan. Bahkan Pemerintah Kerajaan Kashmir dengan Pemerintah Pakistan menandatangami Perjanjian Standstill Agreement, yang menyatakan bahwa Kashmir untuk sementara menangguhkan keputusan untuk melakukan penggabungan.

Permasalahan mulai memanas ketika terjadi pemberontakan di Poonch pada Oktober 1947, yang disebabkan atas tindakan Maharaja Hari Singh yang melakukan pemecatan terhadap para tentara yang berasal dari warga Poonch, serta menggantikannya dengan tentara Hindu dan Sikh. Puncak pemberontakan terjadi pada 21 Oktober 1947, ketika para pemberontak memproklamirkan berdirinya negara Azad Kashmir yang menjadi bagian dari Pakistan.[6]

Keadaan yang semakin tidak terkendali membuat penguasa Kashmir, Maharaja Hari Singh, meminta bantuan kepada India. Permohonan bantuan tersebut sepertinya dimanfaatkan oleh India untuk mendapatkan Kashmir. Untuk mendapatkan bantuan militer dari India, Maharaja Hari Singh diminta India untuk menandatangani Instrument of Accession yang menyatakan Kashmir akan berintegrasi ke dalam bagian India.  Maharaja Singh bersedia menandatangani persetujuan tersebut maka pada tanggal 27 Oktober 1947, India mulai intervensi  di Kashmir.[7]

1.2  Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
  1. Apakah faktor-faktor yang mendorong India dan Pakistan memperebutkan wilayah Kashmir?
  2. Bagaimana upaya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam menyelesaikan perebutan wilayah Kashmir oleh India dan Pakistan periode 1947-1977?


1.3  Kerangka Pemikiran

Berlarut-larutnya masalah perebutan wilayah Kashmir antara India dan Pakistan, sesungguhnya tidak terlepas dari kepentingan nasional (national interest) negara yang bersengketa. Kepentingan nasional merupakan alasan ataupun dasar sebuah negara dalam menjalani komunikasi, interaksi, kebijakan di dunia internasional. Sehingga setiap kebijakan maupun keputusan yang diambil suatu negara pasti akan berlandaskan dengan kepentingan nasional negaranya.

Kepentingan nasional merupakan alasan ataupun dasar sebuah negara dalam menjalani komunikasi, interaksi, kebijakan di dunia internasional. Konsep kepentingan nasional yang dijalani sebuah negara juga didasarkan untuk mencapai power negara demi untuk melindungi dan mempertahankan keamanan negaranya. Menurut Hans J Morgenthau, konsep kepentingan nasional adalah usaha suatu negara untuk meraih power, karena power merupakan kunci suatu negara untuk mengendalikan negara lain.[8]

Menurut konsep liberalisme bahwa suatu permasalahan atau konflik akan dapat diselesaikan apabila aktor yang terlibat tidak hanya negara melainkan perlu adanya keterlibatan institusi yang melampui negara.[9]  Hal tersebut diperlukan karena terkadang permasalahan antar negara tidak dapat diselesaikan oleh negara yang berkaitan. Keterlibatan aktor non-negara juga diperlukan karena berada di posisi netral dan tidak memiliki kepentingan sendiri dalam suatu permasalahan.

Dengan adanya keterlibatan dari institusi diyakini bahwa suatu permasalahan dapat diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum internasional, organisasi internasional, serta demokratisasi. Sehingga para aktor yang terlibat dapat saling membantu dan bekerjasama untuk menciptakan keamanan bersama dan tatanan dunia berdasarkan hukum, integrasi dan organisasi internasional.[10]

Dalam upaya untuk menyelesaikan suatu permasalahan maka yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan jalur diplomasi, agar permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan cara-cara yang damai tanpa menggunakan tindakan kekerasan. Berdasarkan pelaksanaannya, diplomasi dapat terbagi menjadi :
  • First track diplomacy: diplomasi resmi yang dilakukan oleh aktor negara dalam mencapai kepentingan nasionalnya. Diplomasi biasanya dapat dilakukan oleh presiden, para diplomat, maupun pejabat-pejabat pemerintah lainnya.
  • Second track diplomacy: diplomasi informal yang dilakukan oleh aktor non-negara, yang melibatkan berbagai aktor sesuai dengan bidangnya, seperti para profesional, rakyat sipil, akademisi, organisasi non-pemerintah, dan juga juga media massa.
  • Multitrack diplomacy: diplomasi total dengan menggunakan dua kekuatan penuh, yakni first tarck diplomacy atau second track diplomacy. Diplomasi total bertujuan agar meningkatkan peran publik dalam menjalankan misi diplomasi pemerintah.



BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Faktor kepentingan nasional India dan Pakistan

Kashmir merupakan wilayah terpenting setelah Hyderabadh. Dengan keindahan pemandangan yang dimilikinya, Kashmir dijuluki sebagai Negeri Taman Musim Abadi. Baik bagi India maupun Pakistan kepemilikan Kashmir merupakan suatu hal penting bagi kelangsungan negaranya masing-masing. Bagi India sendiri ada beberapa aspek yang membuat India tidak mau melepaskan Jammu-Kashmir dari kekuasaannya.

Dari segi sejarah, pada dasarnya India dengan tegas menolak pembentukan negara Pakistan sekaligus sistem partisi yang telah ditetapkan oleh pemerintah kolonial Inggris. Dapat dikatakan, bahwa dunia internasional mengetahui bahwa India tidak akan mau melepaskan Jammu-Kashmir, terlebih lagi dengan adanya beberapa kali perang terbuka dengan Pakistan serta adanya perjanjian Instrument of Accesion dan Perjanjian Simla maka apabila India melaksanakan referendum yang kemungkinan besar akan dihasilkan penggabungan Kashmir dengan Pakistan, maka upaya India dari sejak Pakistan terbentuk, akan terasa sia-sia dan percuma.

Ini juga akan mengakibatkan turunnya prestise India sebagai sebuah negara, terlebih lagi penulisan ini dibuat, India sedang tumbuh menjadi sebuah negara yang maju dan hampir mensejajarkan diri dengan Jepang dan China. Seperti menurut KJ Holsti bahwa kepentingan nasional berkaitan dengan tujuan jangka menengah suatu negara yaitu meningkatkan prestise sebuah negara .[11]

Selain itu, Kashmir memiliki enam aliran sungai yang berguna sebagai perairan irigasi yaitu Chenab, Jhelum, Indus, Sutlej, Beas dan Ravi. Apabila Pakistan menguasai Kashmir, ada kekhawatiran dari India akan sungai-sungai tersebut tidak akan mengairi India.

Bagi Pakistan, wilayah Kashmir merupakan wilayah yang penting bagi negaranya. Dari segi sosial budaya, Pakistan merasa memiliki kesamaan dengan Kashmir, salah satunya yaitu mayoritas masyarakatnya yang memeluk agama Islam. Kashmir memiliki tiga aliran sungai yaitu Chenab, Jhelum dan Indus yang mengairi Pakistan. Selain itu, Pakistan juga memiliki ketergantungan terhadap India atas tiga sungai lainnya yang mengalir dari India ke Pakistan yaitu Sutlej, Beas, dan Ravi.

Sungai-sungai tersebut mengairi sekitar 20 juta akre tanah Pakistan, yang ditumbuhi padi, gandum, tebu, kapas, dan lain-lainnya. Sehingga apabila Pakistan menguasai Kashmir maka Pakistan tidak perlu khawatir akan terjadinya krisis air di negara, seperti yang terjadi pada tahun 1948, 1952 dan 1958 dimana India menghentikan aliran sungai ke Pakistan.[12]

Oleh karena itu, Kashmir merupakan kunci ketahanan pangan Pakistan karena apabila sungai-sungai tersebut tidak mengairi Pakistan maka yang terjadi adalah masyarakat Pakistan kemungkinan bisa saja dilanda kelaparan dan pemerintah Pakistan juga tidak dapat melakukan ekspor bahan-bahan pangan.

21. Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB)

             Ketika Perang Dunia I yang terjadi pada tahun 1914 hingga 1918, keadaan dunia semakin berada dalam situasi kondisi yang sangat mengerikan karena mengakibatkan lebih dari 40 juta orang tewas termasuk militer dan warga sipil.[13]  Oleh karena itu, untuk menangani dan mendamaikan keamanan internasional maka dibentuk sebuah institusi atau lembaga internasional, yaitu Liga Bangsa-Bangsa atau disingkat LBB (bahasa inggris : League of Nation).

            Liga Bangsa-Bangsa mulai dicetuskan pada Konferensi Perdamaian Paris tahun 1919, dan secara resmi berdiri pada 10 Januari 1920.[14]  Selain bertujuan untuk menciptakan perdamaian dunia setelah perang dunia 1,  LBB juga memiliki tugas lain yaitu melakukan pelucutan senjata, menyelesaikan permasalahan negara-negara melalui negosiasi dan resolusi, mengadakan kerjasama internasional demi meningkatkan keamanan dunia, dan memperbaiki kesejahteraan masyarakat global.[15]

            Namun pada tahun 1939 kembali terjadi Perang Dunia dan berakhir pada tahun 1945. Perang ini  disebut sebagai Perang Dunia II. Kembali terjaadinya perang dunia, dinilai sebagai salah satu gagalnya LBB dalam mempertahankan perdamaian dunia terutama setelah terjadinya perang dunia I. Oleh karena itu, LBB dianggap tidak efektif oleh dunia internasional. Ketika perang dunia II berlangsung, dunia internasional berusaha untuk mencari solusi perdamaian.
           
Pada 1 Januari 1942 dalam Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa, Presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt, mencetuskan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa atau disingkat PBB (bahasa inggris: United Nation atau disingkat UN).[16]  Pada Konferensi San Fransisco tahun 1945, para wakil 50 negara menyusun Piagam PBB dan diratifikasi pada 26 Juni 1945.[17]  PBB secara resmi berdiri pada 26 Oktober 1945 ketika Piagam PBB telah ditandatangani oleh para wakil negara.

Berdasarkan Piagam PBB, tujuan dibentuknya lembaga internasional ini adalah untuk menjaga perdamaian dunia, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa, memupuk kerjasama internasional untuk menyelesaikan berbagai masalah ekonomi, sosial, dan budaya, serta mengembangkan penghormatan atas kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM).  Selain itu, PBB merupakan organisasi internasional tertinggi di dunia yang mempunyai kekuasaan diatas seluruh perjanjian lainnya.

Markas PBB berpusat di New York,  Amerika Serikat. Hingga tahun 2007, anggota PBB berjumlah 192 negara-bangsa dan sejak 1 Januari 2007, Sekretaris Jenderal PBB dipegang oleh Ban Ki Moon, asal Korea Selatan.[18]  Struktur organisasi PBB terdiri dari Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB, Dewan Ekonomi dan Sosial PBB, Dewan Perwalian PBB, Sekretariat PBB, serta Mahkamah Internasional.

Bahasa resmi yang digunakan PBB adalah Inggris, Mandarin, Perancis, Rusia, Arab, dan Spanyol. Dalam sistem PBB adapula hak veto yang dipegang oleh lima negara pendiri yang juga menjadi anggota tetap DK PBB, yaitu Amerika Serikat, Rusia China, Inggris dan Perancis. Hak veto merupakan hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan undang-undang atau resolusi. Hal veto ini juga menimbulkan masalah tersendiri di dalam PBB karena terkadang hak veto digunakan demi kepentingan negaranya masing-masing.


2.2 Upaya PBB dalam menyelesaikan kasus perebutan wilayah Kashmir

Keterlibatan  India dalam pemberontakan di Poonch mengakibatkan keadaan Kashmir semakin memanas. Pengakuan India atas kepemilikan Kashmir berdasarkan Instrument of Accession, mendapat pertentangan dari Pemerintah Pakistan karena Pakistan masih meyakini Kashmir berada dalam status quo perjanjian berdasarkan Standstill Agreement. Bahkan pemberontakan rakyat Kashmir terhadap pemerintahnya berubah menjadi perang terbuka antara India dan Pakistan.

Setelah perang tersebut berakhir, India dan Pakistan sepakat mengadakan Pertemuan Lahore pada 2 November 1947, yang dihadiri oleh Gubernur Jenderal Pakistan Mohammad Ali Jinnah dan Gubernur Jenderal India Lord Mounbatten.[19] Salah satu hasil pertemuan tersebut adalah akan melaksanakan referendum dibawah pengawasan PBB. Setelah hasil pertemuan tersebut dilaporkan kepada Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Pakistan Liquat Ali Khan, kedua negara pun menyetujuinya.

Maka sejak 1 Januari 1948, masalah Kashmir menjadi permasalahan dunia internasional dibawah naungan PBB. Pada 1 Januari 1948, India melaporkan kepada DK PBB bahwa Pakistan ikut membantu pemberontakan di Poonch. Berdasarkan laporan tersebut, dalam piagam PBB Pasal 35 disebutkan bahwa Pakistan masih dapat mengendalikan 2/5 bagian negara.[20] Selain itu, PBB juga meminta agar India dan Pakistan segera melakukan genjatan senjata.
           
Upaya PBB semakin optimal ketika pada 20 Januari 1948, DK PBB membentuk United Nation Comission for India and Pakistan (UNCIP) yang anggotanya terdiri dari Amerika Serikat, Belgia dan Argentina.[21] Namun pada 21 April 1948, PBB memutuskan untuk menambah dua anggota baru UNCIP, yaitu Kolombia dan Cekoslowakia. Selain itu, diputuskan pula bahwa India dan Pakistan harus menarik pasukan, berhenti perang, mengembalikan pengungsi, membebaskan tahanan politik, serta secepatnya melaksanakan referendum atas status Kashmir.

Pada Juli 1948, Menteri Luar Negeri yang juga sebagai delegasi Pakistan di PBB, Zafrulla Khan mengakui bahwa tentara Pakistan berada di Kashmir. Pada 13 Agustus 1948, UNCIP mengeluarkan resolusi yang menyatakan bahwa adanya keterlibatan Pakistan atas terjadinya perang di Poonch. PBB juga meminta agar Pakistan dan India menarik pasukannya di Kashmir. Dalam resolusi tersebut dinyatakan bahwa :

"Pemerintah India dan pemerintah Pakistan menegaskan kembali bahwa status masa depan Jammu-Kashmir akan ditentukan sesuai dengan kehendak rakyat dan untuk mencapai tujuan tersebut, atas penerimaan Perjanjian Genjatan Senjata, kedua pemerintah menyetujui untuk memulai konsultasi dengan Komisi untuk menentukan syarat-syarat yang adil, seimbang, bebas dan terjamin". [22]

Namun rencana pelaksanaan referendum belum juga dapat dilaksanakan maka pada 11 Desember 1948, PBB menegaskan kembali agar melakukan referendum dan genjatan senjata. Namun penegasan tersebut tidak memberikan pengaruh apapun karena Pakistan masih belum mematuhi resolusi sebelumnya, seperti menarik bersih pasukannya dari Kashmir. Terlebih lagi, Pakistan masih mengurusi urusan dalam negerinya sebagai sebuah negara baru, terutama mengenai demografi negaranya.

Pada 5 Januari 1949, PBB kembali mengeluarkan resolusi yang menyebutkan bahwa "the question of accession of the state of Jammu and Kashmir to India or Pakistan will be decided through the democratic method of a free and impartial plebiscite.[23]  Resolusi tersebut juga menyatakan untuk penarikan pasukan Pakistan dari Kashmir, mengukuhkan hak tentara India dalam mempertahankan Kashmir, dan segera melaksanakan referendum di Kashmir secara independen.

Setelah India dan Pakistan mengumumkan genjatan senjata dibawah naungan PBB, maka selama tahun 1949 PBB melalui UNCIP melakukan berbagai pertemuan dan kesepakatan mengenai perumusan proses genjatan senjata yang dilakukan. Proses-proses tersebut antara lain mengenai garis genjatan senjata, penarikan pasukan secara bertahap, serta pengawasan proses genjatan senjata.

            Kasus perebutan wilayah Kashmir yang berlaru-larut memutuskan PBB untuk mencoba pendekatan baru, yaitu dengan mengirimkan perwakilan PBB ke India dan Pakistan untuk mencari solusi yang dapat disepakati oleh kedua negara. Perwakilan PBB yang pertama, yaitu DK PBB Presiden Jenderal AG L McNaughton yang membawa sebuah proposal yang menyarankan agar kedua negara melakukan demiliterisasi Kashmir untuk memastikan bahwa proses referendum tidak akan memihak salah satu negara. Namun, proposal tersebut ditolak oleh India

Kemudian, tahun 1950 PBB mengutus Sir Owen Dixon bertemu dengan pejabat India dan Pakistan untuk kembali mencari solusi. Sir Owen Dixon juga membawa proposal yang menyarankan agar pelaksanaan referendum hanya dilakukan di daerah yang bermasalah (Valley of Kashmir), dan wilayah lainnya menentukan keputusan sendiri untuk bergabung dengan India atau Pakistan. Proposal yang dikenal dengan Dixon Plan” juga mendapat penolakan dari India dan Pakistan.[24]

Agar India dan Pakistan menyetujui proposal yang diajukan PBB, maka dikirim kembali perwakilan PBB, yaitu Frank Graham untuk menyelesaikan konflik dalam waktu tiga bulan. Setelah melewati jangka waktu yang ditentukan, belum juga ditemukan solusi yang tepat untuk menyelesaikan permasalahan Kashmir. Namun pada 30 Maret 1951, PBB membentuk pasukan keamanan militer untuk mencegah terjadinya perang di daerah perbatasan Kashmir, India dan Pakistan.[25]

Kegagalan-kegagalan yang dialami, tidak membuat PBB menyerah untuk menyelesaikan persengketaan Kashmir. Berbagai cara dilakukan kembali untuk menemukan solusi yang benar-benar dapat disepakati oleh India dan Pakistan. Oleh karena itu, pada tahun 1957 PBB kembali  mengirim perwakilannya, yaitu Gunnar Jarring, namun mengalami kegagalan pula.

Setelah usaha-usaha memaksa India untuk menaati resolusi PBB tidak pernah terwujud, maka pada tahun 1957, Pakistan mencoba kembali mengangkat isu Kasmir ke PBB, yang kemudian hasilnya adalah PBB menolak ratifikasi Instrument of Accession, namun hasil tersebut ditolak India. Resolusi tersebut juga mengulangi resolusi sebelumnya yang menyatakan bahwa masa depan Kashmir harus diputuskan sesuai kehendak rakyat melalui cara-cara yang demokratis dengan melaksanakan referendum yang bebas dan tidak memihak di bawah pengawasan PBB.

Pada tahun 1962, Dewan Keamanan PBB berusaha melakukan hak veto namun hal tersebut gagal.[26]  Upaya PBB dalam menyelesaikan masalah ini terlihat melemah ketika dikeluarkannya resolusi tahun 1964 yang menyatakan bahwa permasalahan Kashmir antara India dan Pakistan sebaiknya diselesaikan dahulu secara bilateral. Berbagai resolusi yang dikeluarkan tidak juga menyelesaikan permasalahan Kashmir. Bahkan India dan Pakistan kembali terlibat perang terbuka pada tahun 1965 dan tahun 1971, yang mengakibatkan ratusan ribu korban jiwa, korban terluka dan tertangkap.


2.3 Kepentingan dan posisi PBB dalam kasus perebutan wilayah Kashmir

Dalam perebutan wilayah Kashmir antara India dan Pakistan, keterlibatan PBB adalah sebagai aktor non-negara yang  dibentuk oleh negara-bangsa atau yang dikenal dengan Intergovernmental Organization (IGOs). Walaupun terdiri dari negara-bangsa, PBB tetap berada pada posisi yang tidak memihak negara manapun. Walaupun dalam konflik Kashmir, PBB membentuk UNCIP yang terdiri dari lima negara anggota, hal tersebut tetap tidak menghapuskan posisi netral PBB. Keterlibatan PBB merupakan sebagai aktor non-negara yang menjalankan upaya diplomasinya melalu jalur second track diplomacy.

PBB bergerak hanya berlandaskan pada satu kepentingan bersama yaitu menyelesaikan konflik Kashmir antara India dan Pakistan dengan jalan damai. Berdasarkan dengan teori liberalisme yang mengutamakan peran pada institusi yang melampaui negara, maka pada konflik Kashmir, peran PBB memang diperlukan karena PBB merupakan organisasi tertinggi internasional yang dapat mengawasi dan mengendalikan suatu negara.

Dalam mencari solusi untuk menyelesaikan konflik Kashmir, PBB lebih mengedepankan cara-cara damai tanpa kekuatan militer demi mewujudkan perdamaian dan keamanan bersama, sesuai dengan konsep liberalisme yang dikemukakan oleh Charles W Kegley dan Eugene R Wittkoph. ("Berbagai Perspektif Utama"  pada World Politics : Trend and Transformatio, Belmont, Wadsworth, hlm.  50-51 dalam buku ”Politik Global dalam Teori dan Praktik” karangan Aleksius Jemadu)

Dalam konsep liberalisme, dikatakan pula bahwa untuk mencapai perdamaian dapat menggunakan cara demokrasi. Seperti yang terjadi pada Kashmir, PBB menegaskan pelaksanaan referendum sebagai cara yang demokratis untuk menentukan status Kashmir. Kepentingan PBB dalam konflik perebutan wilayah Kashmir yaitu hanya untuk menyelesaikan konflik tersebut dengan damai tanpa adanya kepentingan pihak-pihak lain yang mempengaruhi PBB.

Namun pada kenyataannya, hingga akhir tahun 1977 pelaksanaan referendum juga belum dilakukan. Kenyataan ini dapat mematahkan teori liberalisme yang menekankan peran institusi dengan jalan perdamaian merupakan cara yang tidak terlalu efektif dalam menyelesaikan permasalahan Kashmir antara India dan Pakistan.

Dengan terjadinya kembali dua kali perang besar antara India dan Pakistan, memperlihatkan bahwa konsep realisme yang menggunakan jalan perang dan keamanan lebih efektif terhadap permasalahan Kashmir. Cara-cara anarkhi yang digunakan India dan Pakistan, dilakukan agar adanya keseimbangan kekuatan. Berdasarkan konsep realisme, berlarut-larutnya konflik Kashmir dikarenakan adanya kepentingan nasional, faktor keamanan,dan kekuasaan yang kuat.

Pemerintah India dan Pakistan memiliki kepentingan tersendiri untuk menguasai Kashmir, terutama karena adanya aliran sungai dan wilayah yang strategis untuk dibangun keamanan militer di Kashmir. Dengan resolusi PBB tahun 1964 yang menyerahkan kembali permasalahan Kashmir untuk diselesaikan secara bilateral India dan Pakistan.


2.5 Keberhasilan PBB dalam menyelesaikan kasus perebutan wilayah Kashmir

            Selama mengeluarkan kebijakan dalam menyelesaikan kasus perebutan Kashmir, PBB telah mencapai beberapa keberhasilannya. Salah satunya yaitu, PBB berhasil meminta India dan Pakistan untuk melakukan genjatan senjata pada setiap kali India dan Pakistan terlibat perang, yaitu pada tahun 1947, 1965, dan 1971. Walaupun prosesnya memakan waktu lama, setidaknya PBB juga berhasil membujuk India dan Pakistan untuk menarik pasukan militernya dari Kashmir.



Disamping keberhasilan yang dicapai, namun PBB tetap memiliki kegagalan dalam tujuan untuk menyelesaikan perebutan wilayah Kashmir. Salah satunya yaitu pembentukan UNCIP. Hal tersebut karena peran UNCIP tidak terlalu dapat membantu permasalahan Kashmir dengan solusi yang tepat. Baik DK PBB maupun UNCIP hanya mengeluarkan resolusi tanpa adanya sangsi yang lebih keras lagi. Berkali-kali resolusi dikeluarkan namun India dan Pakistan tetap saja mempertahankan kepentingan dan solusinya masing-masing.

Kebijakan yang dikeluarkan PBB memang menggunakan cara-cara yang damai dan lebih mengutamakan diplomasi. Namun sepertinya usaha yang dilakukan PBB tidak terlalu dapat memperbaiki kondisi hubungan kedua negara karena resolusi yang dikeluarkan PBB tidak dijalankan oleh India maupun Pakistan. Bahkan proposal saran yang dibawa oleh utusan-utusan PBB ditolak oleh India dan Pakistan.


2.4 Hambatan PBB dalam menyelesaikan kasus perebutan wilayah Kashmir

Pada masalah perebutan wilayah Kashmir, sebenarnya PBB telah berusaha keras untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan damai. Terbukti dengan banyaknya resolusi yang telah dikeluarkan PBB yang intinya meminta agar India dan Pakistan melakukan genjatan senjata, serta melaksanakan referendum sesuai kehendak rakyat dibawah pengawasan PBB untuk menentukan penggabungan Kashmir dengan India atau Pakistan.

Dalam rencana pelaksanaan referendum, PBB menghadapi beberapa masalah yang kompleks. Hal tersebut karena adanya perbedaan pendapat antara India dan Pakistan. Pakistan menolak adanya kekuatan militer pada pelaksanaan referendum karena ditakutkan India akan mempengaruhi pelaksanaan maupun hasil referendum. Selain itu, sebenarnya India menghadapi ketakutan jika referendum dilakukan maka Kashmir akan menjadi bagian dari Pakistan. Karena baik India dan Pakistan memiliki kepentingan masing-masing dalam keinginan menguasai Kashmir, sehingga resolusi yang dikeluarkan PBB tidak dapat dilakukan karena terbentur dengan kepentingan nasional kedua negara.

PBB juga menghadapi masalah lain karena di dalam  wilayah Kashmir muncul pendapat lain, yaitu mendirikan Kashmir sebagai sebuah negara baru yang berdiri sendiri, tanpa bergabung dengan India maupun Pakistan. Berbagai perbedaan pandangan terhadap status Kashmir membuat permasalahan wilayah ini sulit untuk diselesaikan.

Hambatan yang paling terbesar adalah ketika India dan Pakistan menandatangani perjanjian Simla tahun 1972, yang salah satu isinya yaitu segala permasalahan antara India dan Pakistan akan diselesaikan secara bilateral. Dengan kekalahan yang diterima Pakistan pada perang tahun 1971 (yang melahirkan negara Bangladesh), membuat pemerintah Pakistan yang dipimpin Ali Bhutto bersedia menandatangani perjanjian Simla.[27]

Sedangkan dari rakyat Kashmir sendiri, PBB tidak mendapat masalah karena pada dasarnya menginginkan agar perebutan wilayah ini cepat selesai. Pada saat partisi India, rakyat Kashmir menginginkan untuk bergabung dengan Pakistan karena adanya persamaan identitas sebagai wilayah yang mayoritas masyarakatnya umat Islam. Namun hingga akhri tahun 1977, referendum belum juga dilaksanakan.



BAB III
KESIMPULAN


Perebutan wilayah Kashmir merupakan dampak disintegrasi India yang melahirkan negara Pakistan. Andai saja pada masa lalu, umat Hindu India tidak bersikap diskriminatif dan menerima keberadaan umat Islam di India mungkin tidak akan ada disintegrasi India yang kemudian menimbulkan perebutan wilayah Kashmir. Tetapi, dalam hal ini tidak dapat menyalahkan sejarah dan berdirinya Pakistan. Pembentukan negara Pakistan dianggap perlu karena kalau tidak, akan membuat umat Islam di India merasa terkekang dan tidak dapat hidup dengan aman dan layak.

Yang harus dipahami adalah secara teoritis, jika mengacu pada sistem partisi dimana wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam akan bergabung dengan Pakistan, sedangkan wilayah yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu akan bergabung dengan India. Maka Kashmir yang merupakan masyarakatnya beragama Islam, akan menjadi bagian integral dari Pakistan. Tetapi perlu diingat pula, akan adanya Instrument of Accession yang ditandatangani oleh Maharaja Singh, dimana Kashmir akan masuk ke dalam bagian integral India sebagai syarat permohonan bantuan militer dari India.

Sejak tahun 1948, permasalahan ini telah melibatkan PBB. Sebagai organisasi tertinggi di dunia, PBB telah berkali-kali mengeluarkan resolusi untuk melaksanakan referendum. Tetapi hingga akhir tahun 1977, referendum tidak pernah dilakukan. Sejak adanya Perjanjian Simla, perjuangan Kashmir lebih mengarah kepada nasionalisme Kashmir dimana menuntut kemerdekaan sebagai sebuah negara yang berdiri sendiri tanpa bergabung dengan India ataupun Pakistan. Hal itu dikarenakan salah satu isi perjanjian Simla adalah segala permasalahan antara India dan Pakistan akan diselesaikan secara bilateral.

Pada akhirnya keterlibatan, usaha dan peran PBB sepertinya terasa sia-sia dan tidak dihargai karena referendum yang telah diputuskan oleh PBB, tidak pernah dilaksanakan oleh India dan Pakistan. Padahal keterlibatan PBB merupakan atas permintaan India dan Pakistan sendiri. Perjanjian Simla yang disepakati India dan Pakistan, secara tidak langsung membuat melemahnya posisi resolusi PBB dimata pemerintah serta rakyat India dan Pakistan.

Sebenarnya resolusi PBB memiliki kekuatan di atas Perjanjian Simla tetapi dengan kekalahan perang yang diterima membuat Pakistan tidak dapat berbuat apa-apa. PBB sebagai organisasi internasional tertinggi dan berdasarkan Piagam PBB, seharusnya PBB bisa lebih bertindak maupun menekan India dan Pakistan untuk melaksanakan referendum. Banyak hal yang dapat dilakukan oleh PBB misalkan dengan memberi sangsi kepada India dan Pakistan, misalkan dengan memberi sangsi atau memblokade India dan Pakistan.

Apabila PBB sebagai organisasi internasional tertinggi tidak dapat menyelesaikan kasus perebutan wilayah Kashmir antara India dan Pakistan yang telah terjadi selama puluhan tahun, maka keberadaan dan kegunaan PBB menjadi dipertanyakan. Bila PBB tidak dapat menyelesaikan suatu konflik yang terjadi di dunia maka tidak menutup kemungkinan cita-cita dunia yang menginginkan perdamaian tidak akan terwujud, karena tidak menutup kemungkinan pula jika aktor-aktor negara akan memilih jalan perang untuk menyelesaikan permasalahan atau konflik yang sedang dihadapi negaranya.

Oleh karena itu, PBB harus berani bersikap tegas kepada India dan Pakistan untuk mematuhi solusi-solusi yang diberikan PBB. Diharapkan pula aktor-aktor non-negara lainnya seperti SAARC dan UNHCR, dapat mendesak India dan Pakistan untuk membuka diri dan menerima bantuan serta solusi yang diberikan oleh PBB.




DAFTAR REFERENSI


Buku
Jemadu, Aleksius, Politik Global dalam Teori dan Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008.

Pribadi, Jubaidi, Kashmir dan Timor Timur (Peran PBB),  Yayasan Pustaka Grafiksi, Jawa Barat, 1999.

Tambunan, Edwin M.B, Nasionalisme Etnik (Kashmir dan Quebec), Intra Pustaka Utama, Semarang, 2004.

Wirsing, Robert G, India, Pakistan, and the Kashmir Dispute : On Regional Conflict and Its Resolution, Mac Millan, London, 1994.

Ganguly, Sumit,  Wars Without End : The Indo-Pakistani Conflict (eds.), The Annuals of The American Academy of Ploitical and Social Science, Vol 541.


Modul
Ayu, Rindu, Politik Luar Negeri Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Al-Azhar Indonesia.


Internet
Asia Selatan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Asia_selatan diakses 01 Juni 2010 pukul 22.09 WIB.

Perang Dunia 1 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_I diakses 02 Juni 2010 pukul 22.35 WIB.

Liga Bangsa-Bangsa dalam  http://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Bangsa-Bangsa diakses 02 Juni 2010  pukul 22.34 WIB.

History of the United Nation dalam  http://www.un.org/aboutun/unhistory/ diakses 02 Juni 2010 pukul 23.09 WIB.

Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perserikatan_Bangsa-Bangsa diakses 02 Juni 2010 pukul 21.06 WIB.

Historical Chronology of Jammu and Kashmir State dalam http://www.kashmir-information.com/chronology.html diakses 03 Juni 2010 pukul 00.15 WIB.

A Chronical of Important Events anda Dates in J&K’s Political History dalam  http://www.jammu-kashmir.com/basicfacts/politics/political_history.html diakses 03 Juni 2010 pukul 00.44 WIB.






[1] Asia Selatan dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Asia_selatan diakses 01 Juni 2010 pukul 22.09 WIB.
[2] Jubaidi Pribadi, Kashmir dan Timor Timur (Peran PBB), Yayasan Pustaka Grafiksi, Jawa Barat, 1999, hlm. 17.
[3] Ibid.,  hlm. 18.
[4] Sumit Ganguly, “ Wars Without End : The Indo-Pakistani Conflict (eds.)”, The Annuals of The American Academy of Political and Social Science , Vol 541, September, hlm. 169.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Rindu Ayu, Modul Politik Luar Negeri Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,, Universitas Al-Azhar Indonesia, hlm. 18.
[9] Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Politik, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2008, hlm. 17.
[10] Ibid.
[11] Ayu, Rindu. Op. Cit., hlm 16.
[12] Pribadi, Jubaidi. Op. Cit., hlm 68-69.
[13] Perang Dunia 1 dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Dunia_I diakses  02 Juni 2010  pukul 22.35 WIB.
[14] Liga Bangsa-Bangsa dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Liga_Bangsa-Bangsa diakses  02 Juni 2010 pukul 22.34 WIB.
[15] Ibid.
[16] History of the United Nation dalam  http://www.un.org/aboutun/unhistory/ diakses 02 Juni 2010 pukul 23.09 WIB.
[17] Ibid.
[18] Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Perserikatan_Bangsa-Bangsa diakses 02 Juni 2010 pukul 21.06 WIB.
[19] Jubaidi Pribadi, Op. Cit , hlm. 39.
[20] Historical Chronology of Jammu and Kashmir State dalam http://www.kashmir-information.com/chronology.html diakses 03 Juni 2010 pukul 00.15 WIB.
[21] Ibid.
[22] Jubaidi Pribadi, Op. Cit,  hlm. 58.
[23] Wirsing, Robert G, India, Pakistan, and the Kashmir Dispute : On Regional Conflict and Its Resolution, Mac Millan, London, 1994, hlm. 124.
[24] A Chronical of Important Events anda Dates in J&K’s Political History dalam  http://www.jammu-kashmir.com/basicfacts/politics/political_history.html diakses 03 Juni 2010 pukul 00.44 WIB.
[25] Historical Chronology of Jammu and Kashmir State, Loc.cit.
[26] Ibid.
[27] Pribadi Jubaidi, Op. Cit, hlm. 45.

3 komentar:

  1. Mengapa 147-1977? Apakah masalah perebutan wilayah Kashmir sudah selesai dengan berhasil? Mengapa PBB terlibat? TRack diplomacy apa yang dipakai PBB? Fokus pembahasan seringkali bergeser fokus antara peran dan strategi PBB dengan latar belakang konflik dan sejarah PBB.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Belum selesai masih berjalan terus konflik nya, karena di kashmir ada kelompok teroris Jaish-e-Mohammed gabungan sama isis. sulit rasanya untuk negosiasi selalu ada pembelot disana.

      Hapus
  2. Alasan PBB Selalu Diplomatis. hanya ingin menjaga image saja. padahal gk mampu menyelesaikan konflik tersebut. kalau pun di bawa ke Mahkamah Internasional. akan banyak intervensi, pastinya menguntungkan India, kalau menurut pandangan Realis sedemikian rupa. pasti selalu ada pokok masalah yg di keluarkan, seolah ada sabotase dari pihak lain, guna menguntungkannya.

    BalasHapus