Rabu, 02 Juni 2010

ASEAN sebagai Sarana Diplomasi Indonesia mencapai Ketahanan Regional demi Pembangunan Ekonomi Nasional

Nama : Dillo Raditya
NIM  : 209000285

BAB I

PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Warisan Orde Lama yang ditinggalkan oleh rezim Soekarno ternyata cenderung membawa citra buruk terhadap nama Indonesia di mata internasional. Kasus-kasus seperti konfrontasi dengan Malaysia dan poros politik luar negeri Indonesia yang cenderung mengarah ke kiri merupakan contoh posisi konfrontatif Indonesia yang membuat posisi bargaining politik Indonesia menjadi semakin sulit ditambah lagi inflasi yang sangat tinggi menimbulkan instabilitas ekonomi dalam negeri.
Tugas berat yang diamanatkan oleh rezim Orde Lama kepada Orde Baru ini tentunya memiliki tanggung jawab yang besar terhadap nasib bangsa Indonesia. Fokus utama yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia ialah bagaimana cara memperbaiki citra Indonesia di mata dunia supaya dapat menjalin kerjasama internasional terutama dalam bidang ekonomi yang menjadi fokus utama diplomasi pada masa Orde Baru.
Demi mencapai kepentingan nasionalnya, Indonesia harus terlebih dahulu memfokuskan perbaikan citra (image) di mata dunia, di mana Indonesia berusaha memprakarsai isu besar yaitu menjadi salah satu prakarsa dalam pendirian ASEAN. Hal ini dilakukan Indonesia supaya image Indonesia dapat berangsur-angsur pulih, sehingga dapat membantu pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Lewat ASEAN, Indonesia berharap dapat menunjukkan orientasi baru kebijakan luar negerinya kepada dunia dan sebagai langkah awal untuk mencapai stabilitas regional guna membangun ketahanan ekonomi regional.

I.2. Pertanyaan Makalah
Berdasarkan latar belakang di atas makalah ini mencoba menjawab pertanyaan,  bagaimana diplomasi Indonesia dalam mengupayakan ASEAN sebagai sarana yang dipakai Indonesia untuk menjaga stabilitas regional yang berdampak pada ketahanan ekonomi regional dengan menggunakan konsep ketahanan regional (regional resilience).

I.3. Kerangka Konsep
Konsep ketahanan nasional (national resilience) merupakan konsep yang diperkenalkan oleh Presiden Soeharto untuk meningkatkan kapabilitas suatu negara dan juga masyarakat di dalamnya dalam berbagai bidang dengan usaha-usaha nasional untuk mempertahankan negaranya tetap aman dan dalam waktu yang bersamaan mempertahankan identitas nasionalnya.[1] Ketahanan nasional ini juga dapat diartikan sebagai kondisi dinamis suatu bangsa yang mampu mengembangkan kekuatan secara nasional untuk menghadapi tantangan, hambatan, ancaman, dan gangguanyang datang, baik dari dalam maupun dari luar, yang langsung atau tidak langsung akan membahayakan identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa.[2]
Pentingnya ketahanan nasional (national resilience) yang ditunjang oleh keamanan dan stabilitas domestik ini kemudian diadopsi oleh kawasan regional melalui keberhasilan Presiden Soeharto dalam memasukkan konsep national resilience menjadi ketahanan regional (regional resilience) ke dalam Bali Concord pada 1976 dan ke dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (TAC). Konsep regional resilience dalam suatu kawasan bukanlah suatu hal yang sederhana. Untuk mentransformasikan national resilience menjadi regional resilience diperlukan komitmen yang kuat dalam melakukan kerjasama regional yang terutama tercermin dalam kerangka kerja suatu organisasi.[3]


BAB II
PEMBAHASAN
II.1. ISI
II.1.a. Awal Terbentuknya ASEAN
Regionalisme Asia Tenggara dan politik luar negeri Indonesia pertama kali dimunculkan Dr. Abu Hanifah ketika Asian Relation Conference berlangsung di New Delhi tahun 1947 yang muncul sebagai jawaban atas kepercayaan para anggota delegasi Asia Tenggara bahwa negara-negara besar seperti India dan Cina tidak dapat diharapkan untuk mendukung perjuangan nasional mereka.[4] Regionalisme di kawasan Asia Tenggara ini bermula dari rasa ketidakpercayaan diri negara-negara di kawasan tersebut untuk melawan penjajah dan untuk memperjuangkan negara mereka dari penjajah tanpa adanya usaha bersama dalam satu kawasan.
Pada awalnya untuk menciptakan rasa percaya di antara sesama negara-negara di kawasan Asia Tenggara bukanlah suatu hal yang mudah, hal ini di dasari oleh bukti historis akan adanya konflik-konflik yang pernah terjadi di masa lalu misalnya konfrontasi Indonesia dengan Malaysia, konflik teritorial antara Malaysia dan Filipina mengenai wilayah Sabah, dan juga berpisahnya Singapura dari negara federasi Malaysia.
Namun pada akhirnya rasa curiga ini mereda yang membawa dampak positif terhadap pembentukan kerjasama regional di Asia Tenggara. Pertemuan-pertemuan konsultatif yang dilakukan secara intensif antara para Menteri Luar Negeri Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand menghasilkan rancangan Joint Declaration, yang mencakup kesadaran akan perlunya meningkatkan saling pengertian untuk hidup bertetangga secara baik serta membina kerjasama yang bermanfaat di antara negara-negara yang sudah terikat oleh pertalian sejarah dan budaya.[5]
Ternyata hasil rancangan Joint Declaration tersebut mendatangkan hasil yang tidak sia-sia. Atas prakarsa lima negara pendiri yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand terciptalah sebuah Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (Association of South East Asian Nations/ASEAN) pada tanggal 8 Agustus 1967 melalui Deklarasi Bangkok. Awal terbentuknya ASEAN ini masih terfokus kepada pembangunan rasa saling percaya (confidence building) untuk menggalang kerjasama yang kooperatif namun belum integratif. Setelah rasa percaya antara negara-negara anggota terbangun maka akan lebih mudah untuk melakukan kerjasama di berbagai bidang.

II.1.b. Sikap Indonesia Pada Masa Awal Pembentukan ASEAN
Indonesia melalui ASEAN telah menunjukkan perubahan dalam posisi (stance) yang konfrontatif menjadi kooperatif dalam dunia internasional. Tindakan kooperatif Indonesia ini sedikit demi sedikit telah memperbaiki citra Indonesia di mata internasional. Hal ini dapat ditunjukkan dengan peran Indonesia di ASEAN yaitu:
1.   Sikap Presiden Soeharto yang tidak ingin mendominasi dan mempromosikan equality. Hal ini dapat dilihat dari sikap Presiden Soeharto yang menolak dijadikan sebagai “Father of ASEAN” yang mengakibatkan meningkatnya kepercayaan antar negara anggota.[6]
2.   Selain itu Presiden Soeharto juga mencetuskan konsep ketahanan nasional (national resiliance) yang mengatakan, “I feel that national resiliance is only answer to the challenges posed by a world still dominated by tension...” Konsep di atas pada akhirnya menjadi konsep penting yang diadopsi oleh ASEAN di mana konsep ketahanan domestik suatu negara menjadi prioritas ASEAN dengan melihat bahwa ketahanan regional dapat tercapai apabila ketahanan nasional juga tercapai.[7]
3.   Perubahan dalam arah kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia yang mengakibatkan Indonesia lebih membuka diri terhadap negara-negara lain. Dengan demikian hal ini menunjukkan bagaimana Indonesia berusaha melakukan multi track diplomacy untuk mengembalikan kredibilitasnya di mata regional dan internasional.
4.   Adam Malik dan beberapa diplomat Indonesia lainnya ikut berpartisipasi dalam menyusun paper concept dalam ASEAN. Selain itu mereka juga berpartisipasi dalam mempromosikan ASEAN dengan cara berkeliling mengunjungi ibu kota negara-negara di Asia Tenggara. Keberhasilan lain yang telah dilakukan oleh Indonesia yaitu dalam mempersatukan ASA (Association of Asia) dengan ASEAN pada tanggal 28-29 Agustus 1967.
5.   Posisi strategis politik luar negeri Indonesia berhasil menarik anggota baru untuk ikut bergabung ke dalam ASEAN dan juga mendirikan stabilitas antar anggotanya. Hal ini dapat terlihat misalnya ketika terjadi invasi oleh Vietnam di Kamboja 1970 dan 1980.  Berkat ikatan kuat antara Indonesia dan Vietnam akhirnya Jakarta Informal Meeting dapat terlaksana.
6.    Indonesia juga menjadi tuan rumah dalam deklarasi ASEAN di Bali (Bali Concord) dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) pada tanggal 24 Februari 1976. Serta demi menunjukkan komitmennya, Indonesia masih tetap hadir dalam ASEAN Summit ke-3 di Filipina walaupun sedang terjadi ketidakstabilan politik di Indonesia. Wujud nyata  kehadiran Indonesia pada waktu itu memicu negara lain untuk datang sehingga konferensi itu tetap berlanjut. Hal-hal tersebut merupakan bukti nyata bahwa Indonesia telah menunjukkan partisipasi aktifnya demi tericiptanya solidaritas di dalam kawasan ASEAN.[8]
Usaha-usaha yang dilakukan oleh Indonesia melalui ASEAN dapat membantu mengembalikan dan menjaga kredibilitas Indonesia di mata dunia internasional. Di mana pada saat itu, kebijakan luar negeri konfrontatif dari Presiden Soekarno, misalnya konfrontasi dengan Malaysia, membangun image buruk terhadap Indonesia sebagai negara expansionist dan agresif, sehingga hal itu sangat berpengaruh pada perkembangan ekonomi dalam negeri. Untuk mengembalikan perkembangan ekonomi dan stabilitas politik, maka arah dalam kebijakan luar negeri harus dijadikan suatu means untuk menarik bantuan ekonomi dan investasi yang berasal dari pihak asing. Dengan adanya ASEAN, Presiden Soeharto berusaha untuk mengembalikan kredibilitas Indonesia di antara negara ASEAN dan menjadi simbol nyata komitmen Indonesia dalam mengubah citra diri di mata internasional. Dalam hal ini ASEAN sangat membatu Indonesia dalam menciptakan image baik sebagai negara berkembang yang damai dan mempunyai stabilitas politik kepada negara pendonor dan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.

II.1.c. Peran Indonesia dalam Menciptakan Stabilitas Regional Melalui ASEAN
Stabilitas regional adalah alasan utama yang mendasari keberadaan ASEAN, di mana faktor keamanan dianggap penting untuk mempertahankan kesinambungan pembangunan. Akan tetapi, bukan berarti ASEAN merupakan sebuah pakta pertahanan, namun lebih ke arah bagaimana ASEAN dapat mencapai tujuan utamanya melalui regional “peace and stability”, melalui penghargaan atas keadilan dan hukum antar negara. Bagi Indonesia, diplomasi ASEAN dimanfaatkan sesuai dengan keadaan pada saat itu, di mana setelah pergantian kepemimpinan oleh Presiden Soeharto, kepemimipinan Orde Baru memiliki dua sasaran utama, yang pertama yaitu pengembangan ekonomi yang hancur dan pengakhiran kebijakan luar negeri dan stances yang konfrontasional. Kemudian yang kedua adalah pengakhiran konfrontasi dengan Malaysia dan membantu mempererat hubungan baik dengan negera tetangga, yang dianggap penting untuk mencapai sasaran utama.
Masalah keamanan dengan prinsip “Ketahanan nasional” yang dibawa ke dalam forum ASEAN menjadi “ketahanan regional” ini pertama kali dibicarakan dalam pertemuan pemimipin ASEAN tahun 1976 di Bali yang menghasilkan ASEAN Concord dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) di Asia tenggara. Inti dari hasil pertemuan ini menegaskan tentang pentingnya prinsip ketahanan negara diterapkan dalam kebijakan masing-masing negara yang akhirnya menghasilkan ketahanan regional. Interprestasi  dalam perjanjian  ini menegaskan tentang pendekatan keamanan di ASEAN tentang tugas masing-masing negara untuk bertanggung jawab mereduksi ancaman terhadap kestabilan keamanan negaranya yang juga berpengaruh terhadap kestabilan keamanan regional.
Di dalam menciptakan stabilitas regional Indonesia cenderung memiliki kepentingan besar dengan ASEAN sebagai perhimpunan bangsa-bangsa di Asia Tenggara sebagai pencipta stabilitas keamana regional yang dapat ditempuh dengan cara[9]:
1.     ZOPFAN (Zone of Peace Freedom and Neutrality), di mana forum ini merupakan bentuk joint actions untuk memastikan kondisi keamanan dan kedamaian, untuk menciptakan rasa aman dan respect, serta mencegah konflik antar negara ASEAN supaya tidak berlanjut, maka dari itu ZOPFAN dideklarasikan atas cerminan Non-interference policy. Walaupun pada akhirnya penafsiran terhadap ZOPFAN ini berbeda-beda oleh setiap negara sesuai dengan kepentingan nasionalnya masing-masing. Contohnya Indonesia menafsirkan ZOPFAN ini sebagai ketahanan regional yang dikembangkan melalui pembinaan ketahanan nasional masing-masing anggota ASEAN.[10]
2.     Treaty of Amity and Cooperations (TAC) yang diselenggarakan pada tanggal 24 Februari 1976 di Indonesia. Inti dari perjanjian ini adalah bentuk komitmen dari negara-negara anggota ASEAN atas non-interference terhadap kebijakan politik internal dan juga penyelesaian konflik secara damai melalui pembentukan High Council of Ministerial-Level Representatives (sejenis peradilan tingkat ASEAN). Dalam framework yang sama, TAC diproposalkan oleh Indonesia supaya tercipta rasa aman karena ZOPFAN dianggap tidak terlalu mengikat sehingga perlu diadakan komitmen tambahan yaitu dengan adanya TAC. Selain itu, TAC juga menyediakan legal framework  bagi pelaksanaan keamanan hubungan ekonomi. Selain mengadakan TAC, ASEAN juga mengadakan banyak program keamanan, misalnya Nuclear Weapons Free Zone, ASEAN regional Forum, Forum of Defence Ministers, etc, yang mana fokus diplomasi Indoenesia disini adalah mencapai keamanan regional untuk pembangunan ekonomi.
ASEAN juga menciptakan keharmonisan dan stabilitas regional antar negara anggota ASEAN dengan cara membangun rasa percaya (confidence building) di antara sesama negara anggota. Hal ini sangat membantu untuk menjaga keamanan regional, yang tercermin dalam Treaty of Amity and Cooperation in South East Asia (TAC) yang ditandatangani di Bali 1976. ASEAN memang bukan organisasi keamanan, namun berfungsi sebagai security buffer, di mana bagi Indonesia, ASEAN telah mengurangi danger zone dalam wilayah kawasan. Walaupun ASEAN tidak selalu berhasil dalam mencegah konflik bilateral, namun dengan adanya ASEAN, konflik potensial dapat mencegah terjadinya perang terbuka. Posisi penting ASEAN untuk menjaga keamanan regional merupakan salah satu faktor penting untuk membantu perkembangan ekonomi dalam negeri karena jika stabilitas ekonomi tidak akan dapat tercapai jika stabilitas keamanan regional terganggu.
Lebih jauh lagi, keamanan regional yang diciptakan ASEAN tercipta melalui kerjasama militer antar negara. Hal ini terimplementasi melalui prinsip Non-Interference Policy yang sangat dipegang oleh ASEAN, serta pendirian ZOPFAN (Zone of Peace Freedom and Neutrality), serta South East Asian Nuclear Weapon Free Zone, yang keduanya paling tidak meningkatkan rasa percaya (trust) antar negara anggota. Hal ini membuat Indonesia bisa lebih fokus pada masalah dalam negeri, misalnya gerakan penentang pemerintah maupun gerakan seperatisme. Hal ini membuat masalah dalam negeri bisa teratasi dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk masuknya investasi asing.
II.2. Analisis
Security community merupakan suatu pemikiran pengintegarasian negara-negara karena persamaan rasa satu komunitas yang bertujuan untuk mencapai dan memastikan terciptanya keamanan diantara komunitas tersebut, yang bisa berbentuk institusi dan aksi formal atau informal. Dalam  membahas konteks keamanan, ASEAN dari awal terbentuknya menganut konteks keamanan komprehensif. Menurut Lizee dan Peou, pendekatan keamanan komprehensif ASEAN berdasarkan pernyataan bahwa masalah keamanan di ASEAN tidak hanya mengenai ancaman militer dari luar, tetapi juga mencapai pembangunan ekonomi dan sosial dalam negeri masing-masing[11]. Pemikiran ini merupakan pengaruh dari doktrin keamanan Indonesia dalam masa pemerintahan Soeharto tahun 1973 yaitu dalam konsep “ketahanan nasional”. Dalam konsep ini berarti bahwa pertahanan tiap negara dalam semua elemen pembangunan secara keseluruhan, yaitu ideology, politik, ekonomi, sosial budaya dan militer[12]. Prinsip ini lebih fokus terhadap ancaman non-traditional dan inward-looking security dibanding ancaman tradisional seperti ancaman militer yang datang dari luar, melalui pembangunan ekonomi dan sosial domestik untuk menciptakan stabilitas regional. Kestabilan keamanan regional berpengaruh terhadap terciptanya situasi kondusif bagi kegiatan ekonomi suatu negara dan berdampak terhadap kerjasama perdagangan terutama di kawasan Asia Tenggara.
Peningkatan kerjasama ekonomi ekonomi Indonesia terutama ditingkat multilateral, termasuk dikawasan ASEAN dipicu oleh perubahan dalam kebijakan ekonomi di dalam negeri sendiri, terutama dipicu oleh keadaan perekonomian Indonesia pada tahun 1980 mengalami masa pasang surut. Melemahnya harga minyak diawal 1980-an berdampak terhadap penurunan nilai ekspoer dan penerimaan pendapatan negara. Pada periode 1980-1985 pertumbuhan ekonomi menurun menjadi 3,7 % dibanding pertumbuhan ekonomi tahun 1975-1980 yang mencapai 7,5 %.Untuk merespon permasalahan ekonomi ini, pemerintah menerapkan kebijakan baru untuk meningkatkan efisiensi ekonomi, dengan mengubah kebijakan perdagangan yang lebih outward looking dan pengembangan ekspor non-migas sekaligus menstimulasi kegiatan investasi. Dengan perubahan orientasi ini, kebijakan ekonomi Indonesia sebelumnya diominasi oleh kontrol pemrintah, mengalami perkembangan denga terjadinya penurunan terhadap proteksi perdagangan dan perubahan Indonesia mejadi negara yang lebih terbuka terhadap peluang kerjasama ekonomi dengan negara lain dan kebijakan perdagangan yang berorientasi ekspor. [13]

Berdasarkan kepentingan nasionalnya, maka politik luar negeri Indonesia harus menunjang usaha pembangunan ekonomi sebagai prioritas utama dalam rangka pembangunan nasional secara total.[14] Pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru tersebut harus dilakukan secara berdampingan dengan stabilitas politik dan keamanan serta bagaimana cara mnggalang kerjasama dengan negara-negara tetangga dalam satu kawasan. Hubungan kerjasama ini hendaknya dilakukan secara efektif supaya dapat menghasilkan kerjasama-kerjasam di bidang ekonomi dan juga stabilitas keamanan dan politik di dalam suatu kawasan yang akan berimbas kepada meningkatnya ketahanan nasional (national resilience) bangsa.
Pemikiran Presiden Soeharto sebagai pencetus konsep national resiliance yang menjadi konsep penting dalam ASEAN mengatakan bahwa, “I feel that national resiliance is only answer to the challenges posed by a world still dominated by tension...” Dalam penggalangan kalimat tersebut terlihat bahwa Presiden Soeharto menekankan pentingnya aspek national resiliance dalam membangun ketahanan regional (regional resilience) yang akan memebrikan dampak juga terhadap pembangunan ekonomi dan ketahanan ekonomi regional.
Konsep national resiliance yang sangat berperan terhadap pembentukan regional resilience dapat juga terlihat dalam pidato Adam Malik, sebagai Menteri Luar Negeri pada saat itu, yang mengatakan,“Memang dari outset ASEAN bertujuan untuk membangun ekonomi, sosial, dan budaya......merupakan stimulus utama untuk bergabung bersama untuk membangun ASEAN......akan tetapi hal tersebut hanya bisa tercapai melalui memberi prioritas atas semuanya kepada percepatan pembangunan ekonomi... dan perlu disadari bahwa hal itu hanya bisa tercapai dengan secara bersamaan mengamankan keadaan damai dan stabil, baik domestik maupun internasional”. Ali Alatas juga mem-point out, bahwa  ASEAN dibentuk sebagai cara terbaik untuk mengamankan objective dari negara-negara ASEAN, dan hal ini hanya dicapai melaui penciptaan lingkungan yang strategis.
ASEAN merupakan soko guru politik luar negeri Indonesia karena negara-negara ASEAN merupakan lingkaran terdalam dari lingkaran-lingkaran konsentris pelaksanaan politik luar negeri Indonesia.[15] Lingkaran-lingkaran konsentris tersebut memberikan gambaran yang secara jelas menerangkan bagaimana faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap aspek-aspek domestik di Indonesia. Oleh karena itu, ASEAN sebagai soko guru politik Indonesia tentunya memberikan pengaruh yang sangat besar bagi pembangunan nasional di Indonesia.
Perbaikan perekonomian menjadi salah satu sasaran utama pembangunan nasional di Indonesia pada masa Orde Baru.  Pemerintah Orde Baru memulai perbaikan ekonomi nasional dengan menerapkan program Repelita yang salah satu tujuan utamanya adalah peningkatan di bidang pertanian. Repelita I dan Repelita II dimulai pada sejak 1969 sampai 1979. Perhatian pemerintah difokuskan pada kebijaksanaan pangan difokuskan pada tercapainya kenaikan produksi beras dengan menutup kekurangan-kekurangan dan melakukan perbaikan pelaksanaan program Bimas dan program-program yang menyangkut produksi beras lainnya.[16] Pada masa awal industrialisasi, Indonesia terdiri dari cabang industri yang mengolah hasil pertanian sebagai usaha untuk mengejar ketertinggalan dari China dan India.
Pada dasarnya Indonesia menyadari kebutuhan suntikan dana dari luar, oleh karena itu Indonesia melakukan diplomasi pintu terbuka (open door policy) dengan menerima masuknya modal asing dan menggalakkan modal dalam negeri. Ini ditegaskan dalam UU PMA (Penanaman Modal Asing) 1967, melalui itu Indonesia menerima bantuan dari Inter-Governmental Group on Indonesia(IGGI). Sejak tahun 1967-1990 jumlah hutang Indonesia mencapai $  41.007.500.000 yang dialokasikan untuk merehabilitasi perekonomian Indonesia yang telah parah dan dan membiayai pembangunan.[17]
Namun adanya kemudahan ini tidak menjadi satu-satunya pertimbangan investor dalam menanamkan modalnya di Indonesia. Situasi saat itu dimana Indonesia dapat dikatakan telah memiliki citra yang buruk di mata dunia internasional membawa pengaruh dalam arus investasi di Indonesia. Oleh karena itu upaya perbaikan citra Indonesia menjadi salah satu sasaran dalam pemerintahan orde baru.
Pendirian ASEAN selain untuk perbaikan citra secara langsung telah memberikan keuntungan dalam upaya penarikan modal asing dan perbaikan ekonomi. ASEAN menyediakan koridor-koridor dialog bagi Indonesia dengan negara-negara asing lainnya. Pada tahun 1992, Skema The Common Effective Preferential Tariff (CEPT) ditandangani sebagai bentuk penetapan tarif dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan persaingan regional untuk mengahadapi pasar dunia. Selain menghasilkan peraturan yang langsung menyangkut ekonomi, ASEAN juga membuka jalan dialog bagi negara di dalamnya termasuk Indonesia untuk mempermudah dalam menjalin hubungan dengan negara maju, terutama menyangkut pendanaan.
ASEAN telah berhasil membuka dialog dengan beberapa partner seperti UNDP (United Nation Development Program) , EU (Europe Union), dan beberapa negara maju lainnya. Dialog yang telah dilakukan  sejak PertemuanTingkat Menteri yang pertama ini membawa dampak positif dalam usaha memperoleh bantuan maupun perbaikan ekonomi. Peranan penting yang dapat dicapai dari adanya rekanan ini adalah ASEAN mampu mencapai konsesi perdagangan dan ekonomi melalui lobi kolektif maupun individual negara .[18] Selama krisis ekonomi 1998 Indonesia berhasil mendapat bantuan dari ASEM (Asian European Meetings) yang merupakan dialog tiga pihak antara EU, ASEAN dan North East Asia. Keberadaan ASEAN dan keanggotaan Indonesia didalamnya jelas membawa dampak yang baik bagi usaha perbaikan ekonomi Indonesia.
Upaya Indonesia melakukan pemulihan ekonomi dengan memanfaatkan keberadaan ASEAN merupakan langkah yang strategis. ASEAN sebagai badan yang meskipun masih cukup muda saat itu telah mendapat pengakuan internasional. Keanggotaan Indonesia membawa kemudahan mendapat bantuan dari negara maju dan organisasi Internasional lainnya yang mejadi rekanan ASEAN. 
Jalan panjang menuju keberhasilan ketahanan regional (regional resilience) cenderung tidak terlepas dari ketahanan nasional (national resilience) masing-masing negara anggotanya. National resilience yang kuat dari masing-masing negara anggota merupakan jaminan terhadap regional resilience yang kokoh menuju stabilitas kemanan dan politik guna mendukung ketahanan ekonomi regional. Di dalam ASEAN sendiri terdapat empat elemen yang menyusun perkembangan suatu regional resilience, yaitu:
1.     Ketahanan nasional (national resilience), ketahanan nasional setiap negara ASEAN merupakan elemen penting dalam terciptanya ketahanan regional. Hal ini dikarenakan kontribusi kolektif yang akan diberikan setiap negara yang telah memiliki ketahanan nasional akan mempengaruhi keberlangsungan hidup ketahanan regionalnya.
2.     Tingkat interaksi (Level of Interaction), tingkat interaksi sesama Negara anggota merupakan keseluruhan kontribusi dan kesatuan dengan sikap yang akomodatif, agar mampu menghadapi tekanan dan menyesuaikan dengan lingkungan negaranya.
3.     Besarnya komitmen yang dimiliki, besarnya komitmen yang dimiliki setiap negara anggota untuk ketahanan regional merupakan unsur terpenting. Semakin besar komitmen setiap negara akan semakin besar juga ketahanan regionalnya.
4.     Kemampuan beradaptasi. Yang dimaksud dengan kemampuan beradaptasi ialah kemampuan dan kapasitas sebuah kawasan untuk beradaptasi dan mampu merespon perubahan lingkungan.
Ketahanan ekonomi memang menuntut perhatian yang paling besar dalam usaha pembangunan regional ASEAN karena memberikan penekanan yang bergitu besar yang diberikan kepada pertumbuhan ekonomi dan kerjasama ekonomi disebabkan karena sektor kegiatan ini merupakan mata rantai yang paling lemah dalam seluruh spektrum ketahanan nasional Indonesia dan negara anggota ASEAN lainnya.[19]
 




 BAB III
KESIMPULAN

Selama proses pembangunan dalam kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, mendapat banyak kritikan mengenai orientasi kebijakan ekonomi yang lebih mementingkan pertumbuhan ekonomi yang diharapkan dapat menstimulasi pembangunan ekonomi. Namun, pada keadaan riil dalam masyarakat, kebijakan ini lebih mementingkan efisiensi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih mementingkan kepentingan konglomerat dan pengusaha, ketimbang keadilan dan pemerataan kesejahteraan ekonomi dalam masyarakat. Ditambah lagi akumulasi kesalahan kebijakan pembangunan yang membawa dampak terhadap rapuhnya landasan pembangunan ekonomi, yang pada puncaknya ketika terjadi krisis moneter tahun 1997. Hal ini berdampak ada kegagalan Indonesia mengatasi krisis sampai saat ini akibat jatuhnya fundamental penyangga perkonomian Indonesia (perusahaan swasta dan konglomerat) yang sumber dananya sebagian besar berasal dari utang luar negeri dan investor asing. Hal ini semakin menunjukkan bahwa selama 32 tahun pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah orde baru tidak mencapai tujuan riil pembangunan ekonomi dalam masyarakat. Faktor-faktor penyebab krisis tersebut dari dalam negeri antara lain seperti besarnya utang luar negeri, inefisiensi, ketergantungan pada bahan baku impor, praktek KKN dan lain-lain. Sedangkan pengaruh dari luar yaitu dengan semakin meningkatnya integrasi dan ketergantungan akibat semaikin pesatnya perkembangan globalisasi ekonomi.
Walaupun pendekatan “ketahanan regional” ASEAN kurang umum diterapkan di negara Asia Tenggara pada saat ini, terutama setalah jatuhnya rezim Soeharto di Indonesia, namun konsep keamanan di ASEAN masih belum berubah. Negara-negara anggota ASEAN masih menerapkan pendekatan kebijakan untuk mencapai tujuan keamanan domestik masing-masing dibanding keamanan kolektif dalam kawasan Asia tenggara. Dalam hal ini terlihat bahwa kerjasama multilateral kawasan di ASEAN dianggap masih bersifat skeptis dalam menyelesaikan masalah secara institusi di ASEAN. Terutama terlihat setelah terjadi Krisis ekonomi tahun 1997 yang melanda Indonesia, Malaysia dan Thailand, namun ASEAN gagal menunjukkan respon maupun inisiatif untuk saling membantu mengatasi krisis tersebut. Hal ini semakin diperparah dengan semakin meningkatnya intensi untuk timbulnya konflik politik dan perebutan wilayah yang melibatkan Malaysia, Singapura, dan Indonesia yang gagal direspon untuk penyelesaian kasusnya diantara negara ASEAN dan dinilai sebagai bentuk ketidakberdayaan ASEAN. Hal ini terlihat dalam penyelesaian konflik maritim dan perebutan wilayah Indonesia dan Malaysia yang dibawa dalam International Court of Justice dibanding dibawanya penyelesaian masalah ini dalam badan ASEAN.
Untuk menjawab kritikan terhadap ASEAN, dalam pertemuan pemimpin-pemimpin ASEAN di Bali tahun 2003 untuk peningkatan hubungan politik dan keamanan di kawasan Asia tenggara. Pertemuan ini menghasilkan Bali Concord II, menghasilkan deklarasi terhadap pembentukan ASEAN community berdasarkan tiga pilar, yaitu Security community, Economy community dan Socio-cultural community. Diharapkan peningkatan kerjasama ini bisa menciptakan stabilitas kemanan yang mempengaruhi kerjasama ekonomi lebih kondusif di kawasan Asia Tenggara yang mempengaruhi pembangunan ekonomi Indonesia


 DAFTAR PUSTAKA


Anwar, Dewi Fortuna. 1996.  Kerjasama ASEAN: Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan. Jakarta: Ghalia Indonesia..
Anwar , Dewi Fortuna, 2005.  Indonesia At Large : Collected Writing on ASEAN Foreign Policy , Security and Democratisation. Jakarta : The Habibie Center.
Booth,  Anne dan Peter, Mc Cawley. 1981.  Ekonomi Orde Baru. Petaling Jaya: Oxford University Press, terj. Boediono.
Direktorat Jenderal Kerja sama ASEAN. 2007.  ASEAN Selayang Pandang, edisi ke-17. Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.
Kusumaatmadja,  Mochtar. 1983.  Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini . Bandung: Penerbit Alumni.
Lizee, Pierre and Sorpong Peou. 1993. Cooperative security and Emerging Security Agenda in Southeast Asia : The challenge and Opportunity of Peace in Cambodia. New York: CISS New york university.
Luhulima C.P.F. 2005.  Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia . Yogyakarta: Kanisius.
Severino, Rudolvo C.2006. South East Asia in search of an ASEAN Community, Singapore: Utopia Press.
Soesastro, Hadi dan M.Chatib Basri. 2005. The Political Economy of Trade Policy in Indonesia. Jakarta:CSIS.
Bantarto Bandoro,____. “Soeharto ASEAN Legacy”. Jakarta: The Jakarta Post
Fokus, Kompas. 1 Juli 2001.


[1] Bantarto Bandoro, “Soeharto ASEAN Legacy”, The Jakarta Post, ___
[2] Dewi Fortuna Anwar: Kerjasama ASEAN: Latar Belakang, Perkembangan, dan Masa Depan (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 77.
[3] Ibid, hlm. 89.
[4] C.P.F. Luhulima: Mencari Desain Baru Politik Luar Negeri Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2005), hlm. 51.
[5] Direktorat Jenderal Kerja sama ASEAN: ASEAN Selayang Pandang edisi ke-17 (Jakarta: Departemen Luar Negeri, 2007), hlm. 1.
[6] Rudolvo C. Severino: South East Asia in search of an ASEAN Community, (Singapore: Utopia Press, 2006), hal 26-28
[7] Ibid, hal 138-140.
[8] Ibid, hal 27-28.
[9] Rudolvo C. Severino: op cit, hal 161-168.
[10] Dewi Fortuna Anwar, Op. Cit, hlm. 77.
[11] Pierre Lizee dan Sorpong Peou: Cooperative security and Emerging Security Agenda in Southeast Asia : The challenge and Opportunity of Peace in Cambodia (CISS: New York university, 1993) hal.2
[12] Soeharto, “address by the President of Republic of Indonesia, Regionalism in Southeast Asia (Jakarta: CSIS, 1975) hal 8.
[13] Hadi Soesastro dan M.Chatib Basri : The Political Economy of Trade Policy in Indonesia (Jakarta: CSIS 2005)
[14] Mochtar Kusumaatmadja:  Politik Luar Negeri Indonesia dan Pelaksanaannya Dewasa Ini (Bandung: Penerbit Alumni, 1983), hlm. 157.
[15]  Direktorat Jenderal Kerja sama ASEAN: ASEAN Selayang Pandang, edisi ke-17 (Jakarta: Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, 2007), hlm. 137.
[16] Anne Booth dan Peter Mc Cawley: Ekonomi Orde Baru, (Petaling Jaya : Oxford University Press, 1981), Terj. Boediono. hlmn.43
[17] Kompas, Fokus, 1 Juli 2001,hlmn, 25.
[18] Dewi Fortuna Anwar: Indonesia At Large : Collected Writing on ASEAN Foreign Policy , Security and Democratisation, (Jakarta : The Habibie Center, 2005) hal 35.
[19] C.P.F. Luhulima, Op. Cit, hlm. 55.

1 komentar:

  1. nice article. great jobs. Akan lebih baik jika elaborasi tentang apa yang dimaksud arena diplomasi dapat dijelaskan lebih mendalam dan fokus.

    BalasHapus