Selasa, 01 Juni 2010

INDIA PAKISTAN

Nama : Astri Anto
Jurusan : Hubungan Internasional
Nim : 206000231



BAB I

PENDAHULUAN

Ketegangan antara India dengan Pakistan pada dasarnya terjadi sejak terpisahnya Pakistan dari India. Perbedaan ideologi yang akhirnya telah memisahkan kedua negara, dimana keinginan India untuk menjadi negara yang sekuler sangat bertentangan dengan keinginan kaum muslim di India yang ingin menjadikan India sebagai negara Islam. Pemerintah kolonial Inggris yang saat itu sedang menjajah India, malah memanfaatkan situasi ini untuk menguasai pemerintahan di India. India dan Pakistan sebenarnya pernah menjadi satu wilayah.

Pada masa penjajahan Inggris, pemerintah kolonial Inggris membagi India menjadi dua bagian tanpa batas yang jelas beserta aset-aset pertahanan, ekonomi, dan sumber dayanya. Namun, akhirnya pemerintah kolonial Inggris berencana memberikan otonomi daerah pada India. Kelompok-kelompok minoritas di India pun mulai mengemukakan pendapatnya. Ideologi Islam dan sekularisme yang diusulkan kaum Hindu tidak kunjung menemukan titik terangnya. Kedua kelompok tersebut, yaitu The Muslim League dan The India National Congress, saling menilai bahwa salah satu diantaranya lemah diantara yang lainnya.

Pada tahun 1906, The Muslim League menuntut adanya pemisahan calon legislatif saat pemerintah kolonial Inggris hendak menerapkan sistem parlementer. India National Congress cenderung mendukung kebijakan pemerintah India sehingga The Muslim League merasa ditekan dan akhirnya terpinggirkan. Padahal, masyarakat Muslim telah memimpin India selama abad ke-15[1]. Penolakan inisiatif kebijakan Muslim League akhirnya memicu timbulnya gerakan separatis Muslim. Pemerintah kolonial Inggris berusaha untuk meredam masalah tersebut, namun masyarakat Muslim juga memiliki pengaruh yang cukup kuat pada saat itu.Sementara itu, hal ini dipergunakan pemerintah kolonial Inggris untuk meninggalkan India secara perlahan.

Pemerintah kolonial Inggris sempat membentuk sebuah misi bagi kabinet India. Sayangnya, misi kabinet ini tidak mencapai kesuksesan yang diharapkan, tetapi malah membawa India pada ketegangan parlemen yang semakin sengit. Hanya satu kesuksesan misi kabinet ini, yaitu “The Three Their Plan”[2], yang bermaksud menggambarkan pemetaan kekuasaan di India setelah kepergian pemerintah kolonial Inggris.

Pemetaan kekuasaan ini menempatkan India National Congress sebagai pemegang kontrol eksekutif dan legislatif. Sayangnya, hal ini juga tidak membawa perdamaian diantara kedua partai besar di India itu. Kemudian akhirnya, pada tanggal 16 Agustus 1946[3], The Muslim League bersikeras untuk membentuk negara baru yaitu Pakistan. Hal ini juga berdampak pada daerah-daerah propinsi India. Beberapa diantaranya berpenduduk mayoritas Islam dan berkeinginan untuk bergabung dengan Pakistan. Sejak itu, India dan Pakistan tidak pernah memiliki hubungan yang harmonis. Kedua negara saling berkompetisi untuk menjadi yang paling kuat di kawasan Asia Selatan termasuk diantaranya terkait dengan wilayah Kashmir.

Kashmir merupakan salah satu wilayah India yang berpenduduk mayoritas kaum Muslim. Setelah pemisahan India dan Pakistan, Kashmir menjadi salah satu wilayah yang paling diperebutkan kedua negara. Secara geografis, Kashmir atau yang dikaenal dengan wilayah Jammu-Kashmir, dipisahkan dengan Sungai Indus yang mengalir dari Timur ke Barat[4]. Hal inilah yang menjadikan wilayah Kashmir sangat penting bagi Pakistan, salah satunya dikarenakan akhir Sungai Indus yang berada di propinsi Sind, Pakistan[5].

Kashmir pun dikenal dengan topografi wilayahnya yang unik, dengan daerah-daerah perbukitan yang strategis dan cocok sebagai daerah pertahanan. Sengketa Kashmir dimulai pada tahun 1947, dimana juga terjadi diantaranya beberapa perebutan wilayah yang berdasarkan persamaan mayoritas penduduk yang akhirnya membawa pada persamaan nasib dan ideologi masyarakat pada wilayah masing-masing itu. Kashmir memang hanya salah satu dari wilayah yang diperebutkan, tetapi dikarenakan keunikan dari wilayah ini yang akhirnya mendorong permasalahan sengketa menjadi berlarut-larut.

Dalam pembahasan masalah, lebih lanjut akan difokuskan pada sengketa Kashmir dengan mempertanyakan dua buah pertanyaan ilmiah, diantaranya :

1. Mengapa sengketa Kashmir sulit menemukan jalan damai?

2. Apa peran pihak-pihak ketiga dalam usaha penyelesaian sengketa Kashmir?

BAB II

PEMBAHASAN

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa India dan Pakistan sejak awal telah terpisah dengan ketegangan yang sulit hilang. Kasus ini dapat dikatakan sebagai konflik laten, sebab perseteruannya telah ada sejak lama dan berawal dari faktor-faktor yang sifatnya internal, misalnya ideologi. Ideologi menjadi dasar terpisahnya India dan Pakistan, hal ini pula yang menjadikan hubungan antara kedua negara tidak harmonis sebab perbedaan ideologi yang ada terus digunakan sebagai landasan untuk tidak mengakui keberadaan satu sama lainnya. Namun, munculnya masalah-masalah pendukung seperti sengketa Kashmir dan perebutan wilayah lainnya menjadikan konflik antara India dan Pakistan semakin terbuka, ditambah lagi terjadinya perlombaan persenjataan yang berpuncak pada pengembangan senjata nuklir demi pertahanan kedua negara.

Sengketa Kashmir terjadi karena India dan Pakistan sama-sama memiliki kepentingan yang besar atas wilayah tersebut. Dengan adanya sengketa Kashmir pun akhirnya mendorong munculnya masalah-masalah baru seperti perlombaan senjata. Baik India maupun Pakistan merasa salah satunya merupakan ancaman yang sewaktu-waktu dapat menyerang. Hal ini yang menyebabkan kedua negara tidak pernah berpandangan positif satu sama lain.

Aksi-aksi yang dibuat masing-masing negara muncul karena adanya persepsi ancaman yang dirasakan masing-masing negara. Persepsi ancaman yang timbul antara lain dikarenakan faktor historik yang sangat lekat membayangi kedua negara. Hal ini terkait pula pada sengketa Kashmir, dimana faktor historik akhirnya menimbulkan faktor geopolitik, yaitu awal dari pecahnya sengketa Kashmir, yang digunakan kedua negara untuk memperkuat pertahanan dari segi soft dan hard powernya.

Kashmir memiliki jumlah penduduk 90 persen mayoritas kaum Muslim yang secara langsung pro-Pakistan[6]. Sementara itu, para penguasa di Kashmir didominasi kaum Hindu sehingga lebih cenderung pro-India[7]. Hal ini menjadikan masalah sengketa sulit mencapai kesepakatan sebab dari internal Kashmir sendiri belum dapat memutuskan akan bergabung dengan India atau pun Pakistan. Keadaan ini juga sangat disesalkan para penduduk Pakistan yang secara langsung dikorbankan karena masalah ini. Masyarakat Kashmir berharap untuk didengar pendapatnya, kendati ditentukan nasibnya lewat plebisit[8], dimana Jawaharlal Nehru yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri India menetapkan Kashmir melalui identitasnya. Nehru adalah seorang tokoh asal Kashmir dari kasta Brahmana, salah satu kasta tertinggi dalam adat India[9]. Itulah sebabnya sempat terjadi kesepakatan bahwa Kashmir adalah bagian dari India.

Di sisi lain, Pakistan masih terus mempertahankan haknya atas Kashmir dengan dukungan masyarakat Kashmir sendiri. Hal ini terlihat pada bidang ekonomi, dimana masyarakat Kashmir sendiri memang lebih bergantung pada Pakistan dibandingkan pada India[10]. Bagi Pakistan pun, landasan filosofis menjadi alasan kuat bagi Pakistan untuk mengklaim Kashmir dan menjadikannya bagian integral dari Pakistan karena 77,11 persen masyarakatnya adalah kaum Muslim[11]. Dengan kedua alasan ini sebenarnya cukup bagi Pakistan untuk mengikat Pakistan sebagai wilayahnya. Sayangnya, India terus menghalanginya dengan beberapa alasan kuat pula antara lain, secara strategi militer, wilayah Kashmir yang didominasi dengan tanah bergunung merupakan daerah yang sangat bagus untuk dijadikan wilayah pertahanan[12]. Sumber daya alam yang dimiliki oleh Kashmir juga termasuk salah satu faktor pendorong India untuk menguasai Kashmir.

Kepentingan kedua negara inilah yang akhirnya tidak pernah menyelesaikan sengketa tersebut. Kedua negara saling melancarkan berbagai aksi untuk mengancam satu sama lainnya. Diantaranya yang dilakukan India saat sempat menguasai Kashmir. India menutup saluran sumber air yang telah lama digunakan masyarakat Pakistan untuk kehidupan pertaniannya yang terdapat kurang lebih seluas 20 juta hektar[13]. Hal ini dilakukan dengan cara membangun sejumlah kanal dan hidro-elektrik sehingga mengurangi jumlah air yang dialirkan ke daerah pertanian Pakistan[14].

Bentuk ancaman ini beberapa kali dilakukan India terhadap Pakistan, dimana hal ini merupakan hal yang krusial bagi Pakistan. Ancaman tersebut termasuk dalam ecological type of threats, yang merupakan suatu aksi yang dilakukan untuk mengancam lawan dengan hal-hal yang berhubungan dengan lingkungan dan ekologis. Tidak hanya itu, aksi-aksi ancaman yang dilakukan antara India dan Pakistan termasuk juga military type of threats, yaitu dengan menggunakan hal-hal yang berhubungan dengan militer, bahkan hingga terjadi perang. Perang yang disebabkan oleh sengketa Kashmir itu terjadi pada tahun 1947 dan 1965[15].

Hal ini juga yang akhirnya membawa pada kategori persepsi ancaman lainnya, yaitu probabilitas, dimana telah jelas bahwa aksi-aksi ancaman yang terjadi antara India dan Pakistan sangat memungkinkan untuk terjadinya perang dan terbukti bahwa perang telah terjadi pada tahun 1947 dan 1965.

Konflik Kashmir menjadi masalah internasional pada bulan Januari 1948[16], perhatian masyarakat dunia sesungguhnya tertuju kepada masalah tersebut. Tetapi perlahan-lahan kasus tersebut menjadi dingin setelah timbul indikator bahwa India dan Pakistan cenderung menyelesaikan sengketa Kashmir melalui perundingan-perundingan bilateral. Hal ini bermula pada tahun 1953. Perhatian masyarakat internasional baru tergugah jika terjadi peristiwa-peristiwa menegangkan, seperti perang, yang bakal mempengaruhi situasi dunia, misalnya pada tahun 1965 dan 1971 ketika kedua negara itu terlibat perang. Perundingan yang sempat dilakukan dalam usaha penyelesaian sengketa Kashmir adalah melalui pembentukan organisasi regional Asia Selatan (SAARC)[17].

Organisasi regional ini juga berusaha menengahi ketegangan antara India dan Pakistan yang telah terjadi sejak lama. Kehadiran SAARC telah membantu terciptanya dialog antar negara-negara Asia Selatan termasuk juga antara India dan Pakistan. Hal ini termasuk pada salah satu karakteristik periode damai, yaitu terbentuknya mekanisme kelembagaan internasional yang mampu menyelaraskan kepentingan antar negara. Pandangan konstruktivis juga sangat mendukung aksi perdamaian ini, yang mana perdamaian merupakan hasil dari transformasi ide-ide serta norma yan muncul dari para aktor melalui konstruksi sosial[18].

Pada dekade 1990-an perhatian masyarakat internasional mencuat lagi pada masalah Kashmir ketika terjadi berbagai kerusuhan di wilayah Jammu dan Kashmir yang dikuasai India sejak tahun 1990. Berkat lobby-lobby kuat yang dilakukan pemerintah Pakistan masalah Jammu dan Kashmir masuk dalam resolusi-resolusi Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Konferensi Islam (OKI) atau Gerakan Nonblok (GNB)[19]. Tetapi, lagi-lagi masalah tersebut dihadapkan pada kesulitan besar untuk diselesaikan. Hal ini juga berkat lobby-lobby India yang juga tidak kalah kuat pengaruhnya, baik di kalangan negara-negara Nonblok maupun di negara-negara OKI karena sesungguhnya sebagian besar anggota OKI juga sekaligus anggota GNB.

Sayangnya, organisasi-organisasi internasional setingkat OKI ataupun GNB kenyataannya tidak pernah mampu menyelesaikan konflik-konflik bilateral maupun regional. Mereka sebatas dalam upaya menghimbau, menekan atau menengahi kedua pihak yang bertikai untuk menyelesaikan masalah secara damai. Dan usaha-usaha itu pun tampaknya tidak efektif sebab OKI maupun GNB tidak mempunyai kekuatan nyata untuk memaksa para pihak yang bertikai menyelesaikan masalah yang dipertikaikan. Hal ini memicu terjadi kembali ancaman serta dimensi kekerasan dalam kasus sengketa Kashmir ini, yang juga dapat dikategorikan sebagai bentuk perdamaian negatif.

Di forum PBB, baik di New York maupun di Jenewa, Pakistan berhasil menarik perhatian organisasi internasional itu tentang pelanggaran-pelanggaran HAM di Jammu dan Kashmir oleh pasukan India serta perlunya mengatasi pelanggaran-pelanggaran tersebut melalui penyelesaian menyeluruh konflik Kashmir. Dan satu-satunya cara untuk itu adalah melalui penyelenggaraan plebisit atau plebisit sebagaimana ditentukan oleh resolusi-resolusi PBB (UNCIP)[20].

Jika ada pernyataan-pernyataan semacam itu di forum PBB, biasanya pihak India segera menganggapinya dengan keras dan emosional. Dan, biasanya pula, meskipun dari perdebatan emosional itu masalah Kashmir menjadi semakin populer tetapi tidak pernah menimbulkan gagasan untuk menyelesaikannya. Hal ini terjadi sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa aksi-aksi yang dilakukan kedua negara pada dasarnya menimbulkan persepsi ancaman yang memungkinkan terjadinya perang. Perdamaian pun sulit terjadi apabila dalam internal negara aktor-aktor penting seperti presiden dan perdana menteri tidak berniat mengubah political form yang selama ini selalu memandang skeptis lawannya dan menghindari kemungkinan perdamaian.

Pihak Pakistan berkali-kali kecewa karena masyarakat internasional tetap saja apatis atas masalah Kashmir. Meskipun begitu mereka tidak pernah berputus-asa dan setiap pemerintah Pakistan, apakah dari sipil atau militer, tidak akan pernah bisa meninggalkan masalah tersebut. Sebab, ada tradisi di kalangan para politisi Pakistan bahwa siapa yang tidak berhasil menunjukkan komitmennya pada masalah Kashmir pemerintah Pakistan akan segera jatuh. Karena itu, setiap politisi Pakistan, baik secara bersungguh-sungguh atau mungkin berpura-pura, akan bicara lantang tentang Kashmir.

Arah sengketa Kashmir sejak tahun 1953 memang menunjukkan suatu pergeseran dan ada kecenderungan menarik masalah tersebut kembali menjadi masalah bilateral. Namun Pakistan tampaknya masih belum mantap akan masalah tersebut dan beberapa tahun kemudian meminta agar PBB membuka kembali proses menuju plebisit[21]. Dan India lagi-lagi berhasil membujuk atau menekan Pakistan untuk menarik masalah itu benar-benar menjadi masalah bilateral melalui Perjanjian Simla 1972. Perjanjian Simla 1972 tidaklah membatalkan resolusi-resolusi PBB tentang hal itu dan karenanya PBB masih mempunyai kewajiban formal dan moral untuk meneruskan proses partisi India-Pakistan yang sempat tertunda itu.

Pandangan masyarakat internasional memang tidak bisa sepenuhnya disalahkan sebab pada dasarnya setiap usaha perdamaian yang dilakukan tergantung pada aktor utamanya, dalam hal ini India dan Pakistan. Karena, apabila aktor utama tetap tidak menunjukkan niat baik untuk menyelesaikan masalah, maka sebanyak apapun masyarakat internasional tidak efektif mempengaruhi. Namun, tindakan apapun akan dipilih apabila sengketa tersebut telah merugikan banyak pihak, bahkan hingga mengorbankan masyarakat yang tidak bersalah.

BAB III

KESIMPULAN

Kesimpulan sekaligus kaitan kasus IndiaPakistan dengan studi isu-isu global masa kini dapat diuraikan menjadi beberapa hal sebagai berikut :

1. Sengketa antara IndiaPakistan termasuk dalam isu disintegrasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan idiologi antara India dan Pakistan. Perbedaan idiologi ini sekaligus menjadi akar konflik yang kemudian menyebabkan kepada konflik yang lebih besar dampak dan pengaruhnya. Semenjak terjadinya konflik antara IndiaPakistan, kedua negara ini berkompetisi untuk menjadi yang paling kuat di kawasan Asia Selatan. Masing-masing saling berlomba khususnya dalam persenjataan.

2. Setelah terjadinya integrasi, konflik IndiaPakistan bukan berarti sengketa antara keduanya selesai. Namun, sengketa tersebut terus terjadi dan kian meningkat. Seperti sengketa IndiaPakistan memperebutkan Kashmir dan sama-sama mengklaim bahwasanya Kashmir adalah bagian dari wilayah mereka. Dalam sengketa tersebut, baik IndiaPakistan sama-sama melakukan tindakan guna mendapatkan Kashmir. Namun, tindakan yang IndiaPakistan lakukan justru tidak menemukan titik terang akan status Kashmir, malah berujung pada konflik berkepanjangan dan perang. Seperti ketika keduanya melakukan tindakan yang merupakan ancaman bagi kedua pihak (India-Pakistan), ditutupnya saluran sumber air oleh india yang telah lama digunakan masyarakat Pakistan untuk kehidupan pertaniannya dengan cara membangun sejumlah kanal dan hidro-elektrik sehingga mengurangi jumlah air yang dialirkan ke daerah pertanian Pakistan menjadi ancaman secara geopolitik.

3. Dalam sengketa India – Pakistan terhadap Kashmir dunia internasional telah beberapa kali melakukan upaya-upaya agar terselesaikan dengan harapan Kashmir akan berdiri sendiri atau berintegrasi kedalam salah satu negara, namun upaya-upaya tersebut lebih sering dilakukan dalam forum kerjasama regional (SAARC) atau forum-forum internasional lainnya (OKI, KTT Non Blok). Selalu ada pihak yang tidak merasa terakomodir kepentingannya baik itu India atau Pakistan, sehingga segala upaya-upaya yeng pernah dilakukan tetap saja gagal.


[1] Nevada, Raul. 1989. India-Pakistan Détente. New Delhi : Lancer Books. Hal 28.

[2] ibid. Hal 32

[3] ibid. Hal 34

[4] Kashmir ; Derita yang Tak Kunjung Usai.2004. Jakarta : Khalifa. Hal 34.

[5] ibid. Hal 34

[6] ibid. Hal 35

[7] ibid. Hal 35

[8] ibid. Hal 37

[9] ibid. Hal 37

[10] ibid. Hal 37

[11] ibid. Hal 37

[12] ibid. Hal 36

[13] ibid. Hal 38

[14] ibid. Hal 38

[15] ibid. Hal 42

[16] Pribadi, Jubaidi. 1999. Kashmir dan Timor Timur : Peran PBB. Bogor: Yayasan Pustaka Grafiksi. Hal 44

[17] Kashmir ; Derita yang Tak Kunjung Usai.2004. Jakarta : Khalifa. Hal 42

[18] Pribadi, Jubaidi. 1999. Kashmir dan Timor Timur : Peran PBB. Bogor: Yayasan Pustaka Grafiksi. Hal 44

[19] ibid. Hal 77

[20] ibid. Hal 78

[21] ibid. Hal 81


1 komentar:

  1. Pembahasan tidak fokus dan cenedrung melebar antara dinamika konflik dan upaya penyelesaian konflik. Yang dibutuhkan adalah pembahasan mendalam tentang apa dan bagaimana proses penyelesaian konflik melalui diplomasi dilakukan. Rumusan masalah 1 & 2 tidak relevan, sehingga ini nampak dalam kesimpulan yang sedikit sekali menyinggung tentang diplomasi.

    BalasHapus