Rabu, 02 Juni 2010

Perkembangan Kerjasama Bilateral Ekonomi Indonesia Dan China Dari Tahun (1967 -2006) dalam lingkup pengaruh ACFTA di Kawasan ASEAN

INDAH RETNONINGSIH
( 206000180 )



A. Latar Belakang Hubungan Bilateral Ekonomi Indonesia dan China (1967-2006 ).

Indonesia dan China telah melakukan hubungan diplomatis semenjak tanggal 13 April 1950. Akan tetapi, hubungan diplomatis bilateral kedua negara tersebut sempat terhenti pada tahun 1967, setelah merebaknya isu kudeta komunisme di Indonesia. Pada bulan Desember 1989, atau selang waktu dekade setelah adanya perbaikan hubungan bilateral diantara Indonesia dan China, Indonesia dan china sepakat untuk membahas berbagai hal mengenai normalisasi hubungan bilateral kedua negara.
Selanjutnya, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas, mengadakan kunjungan ke China tahun 1990, dan setelah kunjungan tersebut, kedua belah pihak Negara, Indonesia dan China, menandatangani Kesepakatan Penyelesaian Kewajiban Hutang Indonesia ke China, yakni, Agreement on the Settlement of Indonesia’s Debt Obligation to china, dan Komunike Pengadaan kembali Hubungan Diplomatis antara RRC dan Republik Indonesia ( RI ), ( Comminique on the Resumption of Diplomatic Relation between people’s Republic of China and the Republic of Indonesia ).
Meskipun demikian hubungan China dan Indonesia masih mengalami kerenggangan, bahkan hingga tahun-tahun terakhir sebelum pemerintahan Soeharto, mengundurkan diri dari kursi jabatan pemerintahan Republik Indonesia. Keadaan ini, dikarenakan adanya faktor timbulnya rasa curiga dari pohak militer Indonesia, terhadap maksud-maksud tertentu yang dimiliki oleh China ( Haacke 2005 : 136 ). Oleh karena faktor itulah, Indonesia pernah memberikan dukungannya secara penuh, kepada keterlibatan Amerika Serikat di ARF, dan memberikan dukungan komitmenya dalam berbagai kesepakatan-kesepakatan dengn pihak Australia ( Leifer 1999 ). Akan tetapi, ibukota Jakarta, seperti halnya dengan negara-negara Maritim Asia Tenggara lainnya, dilihat oleh Beijing sangat penting, dilihat dari segi Politik, Ekonomi, dan wilayah yang Strategis. Bagi para pembuat kebijakan di Beijing, Jakarta tidak hanya memiliki faktor kepemimpinan dalam ASEAN, tetapi, dikarenakan perdagangan China yang semakin meningkat dengan dunia, memilki posisi geografis yang sangat strategis, yang merupakan elemen penting bagi kepentingan ekonomi China.
Hubungan anatara kedua negara semakin membaik, selama masa krisis ekonomi, khususnya setelah adanya kunjungan mantan Presiden Abdurrahman Wahid, ke China pada bulan Desember 1999. Pada waktu itu, kedua pihak sepakat bahwa Indonesia dan China harus meningkatkan kontak antar anggota masyarakat, yang digunakan untuk memperbaiki hubungan di antara kedua negara Indonesia dan China.
Indonesia sebenarnya menandatangani kesepakatan perdagangan Bilateral dengan China pertama kali pada tahun 1953, dengan nilai awal perdagangan mencapai kisaran AS$ 7,4 juta, dan secara konsisten meningkat hingga AS$ 129 juta pada jangka waktu lima tahun itu, ( Hudiono 2006 ). Setelah bertahun-tahun terhentinya hubungan diplomatis antara kedua negara, hubungan Ekonomi Indonesia dan China mulai tumbuh kembali, khusunya setelah penandatangann nota kesepahaman, (MoU) Memorandum of Understanding , untuk pembentukan hubungan perdagangan anatar kedua negara oleh kamar dagang dan Industri Indonesia ( KADIN ) dan Dewan Promosi Perdagangan International China ( CCPIT ) China Council for the Promotion of Intrenational Trade.
Meskipun demikian, setelah adanya masa normalisasi saja perdagangan antara kedua negara mulai meningkat secara tajam, meskipun dalam masa volume yang relatif kecil. Satu kajian yang dilakukan oleh ilmuwan Indonesia, Atje dan Gaduh ( 1999: 9 ), mengenai hubungan Ekonomi Indonesia dan China, menujukkan bahwa antara awal tahun 1990-an hingga puncak krisis ekonomi, ekspor minyak dan gas ( migas ), dan non-migas Indonesia ke China meningkat dan sekitar AS$ 580 juta menjadi AS$ 1.320 juta, sedangkan impor dan China ke Indonesia meningkat dari AS$ 800 juta pada tahun 1991 menjadi AS$ 1.270 juta pada tahun 1997.
Hubungan ekonomi antara Indonesia dan China juga semakin membaik bersamaan dengan milenium baru. China khususnya, mampu menjadi salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik ( BPS ), anatara tahun 2003 hingga 2004, atau masa setelah pelaksanaan tahap awal dari ACFTA, atau EHP, pada bulan Januari 2004 dan tidak lama setelah itu, ekspor Indonesia ke China meningkat sebanyak 232, 20 persen, sedangkan impornya dari China meningkat hanya sebesar 38,67 persen saja.
Secara keseluruhan total volume perdagangan antara Indonesia dan China pada tahun 2004, terhitung menjadi AS$ 13,47 milyar, atau peningkatan sebesar 31,8 persen dari tahun sebelumnya, dan hampir sama dengan volume perdagangan Indonesia dan AS, yang terhitung mencapai AS$ 13,5 milyar (People’s Daily Online 2005). Sementara itu, dari sisi pandang China, Indonesia kini masuk pada peringkat ke-17, sebagai negara penerima ekspor negara itu, dengan nilai sebesar AS$ 3,59 milyar, atau peningkatan sekitar 1,01 persen dari total ekspor China ke seluruh dunia. Umumnya perdagangan bilateral semakin bertambah dengan cepat hingga mencapai AS$ 10 milyar, termasuk perdagangan melalui Hong Kong, sedangkan penanaman modal China di Indonesia kini mencapai total komulatif sebesar AS$ 282 milyar.
Indonesia dan China melihat hubungan satu dengan lainnya sebagai mitra ekonomi yang potensial ( Atje dan Gaduh 1999: 8-9 ). Dari kacamata para pembuat kebijakan Indonesia, populasi penduduk China yang mencapai 1,2 milyar jiwa merupakan kesempatan ekonomi yang perlu digali. Selain itu, para pembuat kebijakan dan pelaku ekonomi Indonesia juga semakin prihatin dengan masuknya China ke dalam WTO, pada bulan November 2001, khususnya mengenai peningkatan daya saing China di pasar dunia yang dapat menjadi pesaing bagi ekspor Indonesia.
Meskipun ada peningkatan angka perdagangan, perdagangan Indonesia dan China masih relatif kecil. Hal ini tidak hanya dikarenakan kedua negara merupakan negara berkembang dan memilki tingkat pembangunan yang hampir, ekonomi Indonesia dan China juga tidak memiliki komplementaritas tetapi cenderung bersaing. Para pemimpin China juga memiliki pandangan yang serupa terhadap Indonesia. Populasi Indonesia tidak hanya menjadi faktor pendorong bagi ekspor China, sumber daya alam yang melimpah di negara ini juga dapat memberikan amunisi tambahan bagi China untuk mencapai tujuannya, yakni menjadi kekuatan dunia melalui jalan damai ( Wang Jiang Yu 2005: 53 ).

A. Perkembangan Bilateral Ekonomi Indonesia dan China di Tahun 2006
Berbagai usaha lainnya untuk memperkuat hubungan ekonomi antara Indonesia dan China juga terjadi ketika presiden China, Hu Jintao, mengunjungi Jakarta pada bulan April 2005. Pada waktu itu, Presiden Hu dan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, sepakat untuk mengeluarkan satu pernyataan bersama mengenai pembentukan Kemitraan Strategis antara Republik Rakyat China dan Republik Indonesia ( Establishing Strategic Partneship between the people Republic of China and the Republic of Indonesia ). Kemitraan Strategis ini berisi satu kesepakatan dari kedua pihak untuk bekerjasama dalam bidang penelitian dan pengembangan teknologi persenjataan. Sealin itu, pada waktu itu China juga memberikan hadiah kepada Indonesia dengan memberikan kesepakatan pinjaman dana AS$ 100 juta dalam bentuk Kredit Pembeli dan Dukungan pengajaran bahasa China. Setelah di tandatangani kesepakatan ini, Presiden Hu, menyatakan bahwa kemitraan strategis ini menunjukkan, bahwa hubungan sino dan Indonesia mulai memasuki tahap pembangunan baru ( International herald Tribune 2005 ). Pada tanggal 27 sampai 30 Juli 2006, presiden Yudhoyono mengadakan kunjungan china. Dalam kunjungannya tersebut, presiden yudhoyono ditemani wakil presidennya, Jusuf kalla, dan ditemani oleh sekelompok pengusaha sukses, dan sekleompok individu mewakili KADIN. Komunitas pengusaha besar Indonesia, sangat antusias menanggapi prosepek diberlakuaknnya kerjasama ekonomi yang lebih dekat dengan negara China.
Seperti dikutip dalam People’s Daily Online tahun 2005, KADIN menunjukkan optimisme bahwa perdagangan Indonesia dengan China diharapkan dapat meningkat dari $15 milyar pada tahun 2005 lalu menjadi $20 milyar pada tahun 2008. Artikel yang sama juga mengutip pernyataan dari Duta Besar China dan Indonesia, Lan Lijun, bahwa perdagangan anatar kedua negara mulai menunjukka peningkatan dengan nilai rata - rata per tahun 18 persen. Setibanya dari konferensi di China, Presiden Yudhoyono, dan beberapa kelompok bisnisnya, berhasil meraup kesepakatan-kesepakatan perdagangan dan penanaman modal sebesar $ 20 milyar, menurut data majalah Forbes tahun 2005. Meskipun kebanyakan pelaku ekonomi yang terlibat dalam kesepakatan– kesepakatan ini meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti perusahaan-perusahaan dari sektor baja, gas, distribusi, telekomunikasi, dll. Akan tetapi berbagai masalah dalam negeri, seperti korupsi, masih akan menjadi ganjalan terrhadap pelaksanaan kesepakatan-kesepakatan bilateral tersebut.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa hubungan antara kedua piihak, atau ASEAN, khususnya Indonesia dan China, yang kedua negara ini mengalami pasang naik turun, dan adanya perubahan politik di timgkat Internasional, menjadikan China mengubah orientasi Kebijakan Luar Negerinya guna mengedepankan ambisi negar itu, untuk menjadi kekuatan ekonomi baru. Jalan yang ditempuh oleh China adalah dengan mengefektifkan kerjasama dengan negara-negara Asia Tenggara melalui ASEAN, selain masuk menjadi anggota WTO, pada bulan Nopember 2001. Hubungann diplomatik Indonesia dan China mulai membaik kembali setelah kunjungan mantan presiden Abdulrrahman Wahib ke China. Inisiatif tersebut kemudia diteruskan pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun demikian, membaiknya hubungan diplomatis antara Indonesia dan China tidak sera merta memberikan peluang pasar yang besar bagi Indonesia. Kemampuan akses pasar para pelaku usaha Indonesia ke China, masih patut dipertanyakan, khusunya dikarenakan besarmya berbagai persoalan domestik yang tidak kunjung selesai.
B. Indentifikasi Masalah

1. Bagaimana proses pembangunan kerjasama bilateral Indonesia dan China, dalam hal pengembangan teknologi dan ekonomi pada era tahun 2000?
2. Bagaimana keadaan pasar ekonomi Indonesia, selama 60 tahun ( 1950 – 2010 ), setelah China masuk sebagai ACFTA?

Jawaban
Keadaan perdagangan luar negeri dan kerjasama ekonomi kedua negara China dan Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Setelah pemulihan hubungan diplomatik kedua negara telah sepakat menandatangani kesepakatan militer angkatan udara,melalui mekanisme Perjanjian Perlindungan Investasi. Selain itu juga, kedua negara China dan Indonesia telah menandatangani nota untuk mengadakan kerjasama di bidang pertambangan, kehutanan, pariwisata, perikanan, transportasi, pertanian dan keuangan, dll.
Pada tahun 1990, kedua negara membentuk komite bersama untuk ekonomi perdagangan dan kerjasama teknologi. Dan sampai beberapa tahun kedepan, telah mengadakan lima kali pertemuan untuk membahas kerjasama tersebut. Pada bulan Maret 2002, sebuah forum energi , yang membahas tentang bilateral teknlogi dibuat, dan mengadakan pertemuan pertama kali pada bulan September tahun 2002.
Volume perdagangan bilateral kedua negara ini, telah mengalami peningkatan sangat cepat karena kedua negara, telah sepakat melanjutkan hubungan diplomatik, dengan donor sebanyak $ US 1180000000 di tahun 1990 menjadi $7,464 miliar pada tahun 2000.
Pada tahun 2001, volume perdagangan bilateral, sedikit mempunya hambatan, indeks keuntungan hanya mencapai prosentase Rp 6725000000, akibat mengalami perlambatan ekonomi global. Dan pada tahun pertama di 2002, hasil kerjasama teknologi ini, telah menyumbangkan USD 3,6 milyar, atau meningkat sebesar 5,7 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Dan pada akhirnya, menjadikan Cina sebagai mitra perdagangan ke-5 dari Indonesia sementara Indonesia, menjadi mitra perdagangan di urutan 17 oleh Cina. Pada bulan Mei 2000, Menteri Luar Negeri Tang Jiaxuan telah mengadakan kunjungan ke Menteri Luar Negeri Indonesia Alwi Shihab menandatangani pernyataan bersama mengenai arah pembangunan hubungan bilateral di masa depan dan sebuah nota kesepahaman tentang menempatkan sebuah komite bersama mengenai hal hubungan kerjasama bilateral.
China telah berjanji, untuk mengadakan kerjasama yang efektif dengan pihak Indonesia, dengan tujuan untuk mendorong kemitraan strategis bilateral kedua negara tersebut. Kesepakatan ini, dari pihak Cina, difasilitator oleh Wu Bangguo dan penasihat politik, Jia Qinglin. Hal tersebut dikemukakan dalam pertemuan terpisah dengan Taufik Kiemas, yang saat itu, beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Indonesia.
Sebagai sebuah kesepakatan momentum pengembangan hubungan bilateral, Tiongkok-Indonesia, Wu mengatakan negara telah menikmati dan saling meningkatkan kepercayaan politik, yakni baik bersifar kerja sama yang bermanfaat di berbagai sektor, dan koordinasi yang erat dalam organisasi-organisasi regional dan internasional.
Indonesia dan Cina, merupakan dua negara yang memiliki kepentingan politik di kawasan Asia-Pasifik, kedua negara ini telah menikmati kepentingan bersama yang luas dan saling menguntungkan. Wu menjelaskan, bahwa ia berharap kedua belah pihak akan meningkatkan pertukaran parlemen dan kerja sama untuk mempererat isi dari perjanjian hubungan bilateral.
Jia Qinglin, ketua Nasional Permusyawaratan Politik Rakyat Cina's Konferensi ( CPPCC), mengatakan bahwa Kami siap bekerja sama dengan Indonesia untuk memperluas kerjasama di bidang ekonomi, baik dalam bidang perdagangan , budaya, yang semua itu ditunjukkan untuk memajukan kemitraan strategis kami, dan mencatatnya, bahwa hal ini akan menguntungkan kedua bangsa dan membantu regional dan perdamaian dunia dan pembangunan kedua negara.
Jia berharap, CPPCC, sebagai badan penasehat atas politik, dan MPR Indonesia akan mempertahankan pertukaran bilateral ini dan mau saling mempelajari satu sama lain untuk membantu mempromosikan hubungan antara kedua negara.Indonesia memilki hubungan regional yang bersahabat dan kerja sama dengan pihak Cina, dia berharap bahwa kedua negara akan meningkatkan kerjasama yang pragmatis di dalam pembangunan infrastruktur dan eksploitasi sumber daya alam.
Dia mengatakan, bahwa pihak MPR, sebagai perwakilan sudah siap untuk memperkuat pertukaran dan kerjasama dengan NPC dan CPPCC , untuk memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekononomi yang kompherensif .
Selama 60 tahun hubungan bilateral China dan Indonesia, kedua negara ini telah mengalami pasang surut hubungan bilateral yang dibangun dari dekade tahun 1990’an. Banyaknya perubahan kebijakan yang telah dilakukan oleh China, membuat integrasi china di kawasan asia, menjadi integarsi yang kuat, yang bersaing dengan komoditi ekonomi dari negara-negara ASEAN. Untuk itu, integarsi ini telah menimbulkan tantangan yang kuat bagi negara Indonesia sendiri, yang salah satunya menjadi negara anggota ASEAN.
Tantangan itu dapat terjadi karena intensitas hubungan meningkat, atau adanya perubahan di kawasana yang bersifat fundamental dan cepat. Hubungan dan kerjasama ekonomi telah menangani peningkatan. Perdagangan bilateral sudah melebihi 30 miliar dolar Amerika Serikat, dan akan mengalami peningkatan terus , terutama setelah kawasan Perdagangan bebas ASEAN – Cina ( ACFTA ), berlaku pada awal tahun 2010. Di Indonesia memang banyak yang dipertanyakan mengenai pelaksanaan ACFTA, tetapi pada akhirnya dengan bantuan Pemerintah dan Perusahaan besar, UKM, dapat diharapkan dapat bersaing dengan Indonesia dan China.
Dalam hubungan kerjasama di Asia Timur dan Asia Pasifik perlu secara terus menerus dilakukan tukar menukar pandangan dan kebijakan demi kepentingan kerjasama kawasan yang bersangkutan, misalnya dalam soal dualisme antara ASEAN Plus Three (APT) DAN East Asia Summit (EAS), jelas harus diambil putusan bersama agar bisa mendorong kerja sama regional secara efektif di kawasan. Dalam hubungan ini sebaiknya APT diarahkan untuk kerja sama fungsional karena forum ini lebih kecil dan efektif serta telah 10 tahun lebih kerja sama, tetapi tetap dibuka untuk anggota EAS, yang merupakan forum dialog, tentang masalah-masalah strategis melalui KTT dan tidak akan mempunyai lembaga-lembaga di bawahnya, yakni pihak Amerika Serikat dan Rusia dapat diundang pula ke dalamnya. Akhirnya di bidang budaya, malalui pendidikan dan ilmu pengetahuan, jangan sampai terabaikan karena penting menyelami nilai-nilai dan karakter bangsa, yang diperlukan apa bila kerja sama dan hubungan menjadi semakin erat. Ilmu pengetahuan dean pendidikan merupakan alat-alat dan sarana-sarana yang penting untuk masa depan yang akan melakukan kerja sama ini. Indonesia dan China sama-sama saling membutuhkan kerjasama ini.
Kesimpulan
Kerja sama bilateral Indonesia dan China merupakan suatu hubungan diplomatik yang bersifat idealis dan kompetitif. Banyaknya hal yang menguntungkan dari kerjasama ini, akan menciptakan suatu hubungan bilateral yang dinamis, bersama dengan persaingan produk Cina yang menjamur di pasaran Indonesia, membuat komditi pasar Indonesia pun, harus segera dapat menyeimbangkan pendapatan distribusi penyebaran produk China, yang telah menduduki pasaran tingkat atas pada sistem distribusian.Namun dibalik persaingan ekonomi, di kedua negara ini, yakni Indonesia dan China, kedua negara ini begitu banyak membangun diplomasi di bidang lain, selain di bidang ekonomi, Indonesia dan China terlibat dalam G-20, dan termasuk dalam ASEAN plus 3, dan Organisasi perdagangan WTO. Ini membuktikan, bahwa Indonesia dan China masih memiliki hubungan yang berkesinambungan dalam hal kerjasama politik, yang dimana hubungan ini masih sangat diperlukan untuk saling mendukung dalam upaya meningkatkan dukungan intensitas kepercayaan internasional.
Banyaknya produk China yang menjamur di pasaran Indonesia, dikarenakan, keahlian para pengusaha dari China, yang mampu membaca situasi pasar Indonesia, yang kurang mengembangkan industri kecilnya, yang dinilai berpotensi menjadi salah satu pengembangan hegemoni baru, untuk menghasilkan komoditi yang cukup bagus bagi pasaran ekspor di luar negeri. Hal ini menjadi sebuah problema tersedendiri yang telah dimanfaatkan China, untuk membidik pasaran Indonesia, yang dinilai oleh China, Indonesia masih mengalami pendapatan ekonomi masyarakatnya. Sehingga sebuah pencitraan konsumsi pasar baru, diciptakan oleh China, untuk mencari keuntungan tersendiri dari efek keadaan Indonesia yang rata-rata penduduknya memiliki income per kapita yang kecil, dalam statistik perekonomiannya.Diluar dari permasalahan persaingan bisnis ekonomi, Indonesia dam China, harus dapat saling memahami, untuk lebih jauh mengadakan pendekatan ke arah bidang yang lain. Indonesia dapat mempelajari dari sistem hukum China, mengenai pemberantasan Korupsi, yang dilaksanakan Pemerintah China dengan tegas. China telah berhasil menyelesaikan dengan tegas, mengenai ekspansi korupsi, dengan menggunakan sistem hukum yang cukup berat, bagi para pelaku Korupsi di negeri China tersebut. Indonesia harus lebih bersikap dewasa dalam mengelola lebih jauh mengenai hubungan diplomasi yang kondusif dengan China. Selain AFTA China yang masuk ke dalam regionalisme ASEAN, Indonesia harus dapat dengan cermat membidik celah, untuk menyeimbangkan sektor ekonominya, agat tidak terjadi konjungtivitas terlalu jauh dengan China.

Daftar Pusataka

Htp://www.indonesianembassy-china.com/en/bilateralrelation ekon htm , dkiakses pada tanggal 26 Januari 2006. Dari referensi buku, Pambudi Daniel dan Chandra C. Alexander, Garuda Terbelit Naga, Institute For Global Justice, Jakarta, April 2006.

Htp://www.bps.go.id/sector/frade/exim/table2.shtml. Ibid.

Htp://www.deplu.go.id/category id=13&country id=&news bil.id=288&bilateral=asiatimur. Ibid.

Pambudi Daniel dan Chandra C. Alexander, Garuda Terbelit Naga, Institute For Global Justice, Jakarta, April 2006.

http://www.gov.cn/english/2009-12/07/content_1482051.htm. Diakses pada tanggal 24 Mei 2010. Jam 13.00 Wib.
Koran Kompas, terbitan Tanggal Selasa 13 April 2010, Bagian Opini, dengan Judul , Tantangan Diplomatik RI-China, oleh Jusuf Wanadi, Halaman, 6.

2 komentar:

  1. Referensi buku cuma satu? Apakah ACFTA merupakan bentuk bilateral? BAgaimana mengukur pengaruh dan kaitannya dengan diplomasi? Dua Rumusan masalah tidak saling berkaitan dan berdiri sendiri? Apakah peningkatan volume perdagangan Indonesia-China akibat ACFTA? Fokus pembahasan dan unit analisa sangat tidak jelas dan tidak fokus.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus